Bisnis.com, JAKARTA — BPJS Watch memproyeksikan besaran defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan pada akhir tahun ini akan mencapai Rp 18 triliun. Terdapat potensi defisit masih akan terjadi pada tahun depan.
Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan bahwa masuknya tambahan dana dari pemerintah karena kenaikan iuran akan mengurangi perkiraan awal defisit 2019 sebesar Rp 32,89 triliun.
Tambahan dana tersebut disalurkan pemerintah seiring berlakunya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Kenaikan iuran segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Pekerja Penerima Upah (PPU) Pemerintah tercatat berlaku surut.
Selisih kenaikan iuran segmen PBI telah dibayarkan oleh pemerintah pada Jumat (22/11/2019) senilai Rp9,13 triliun. Timboel menjelaskan bahwa total dana dari selisih kenaikan iuran tersebut mencapai Rp14 triliun sehingga akan mengurangi defisit BPJS Kesehatan.
“Baru diturunkan Rp9 triliun itu dari APBN, untuk yang dari APBN dikucurkan Desember ini. Sekitar Rp18 triliun defisit akan di-carry over ke 2020, relatif berat," ujar Timboel kepada Bisnis, Minggu (1/12/2019) di Jakarta.
BPJS Watch sendiri berharap pemerintah dapat lebih menekan besaran defisit pada tahun ini agar pada 2020 tidak terjadi kembali defisit. Timboel menilai bahwa penambahan dana Rp14 triliun masih kurang.
Bisa Surplus Pada 2020
Dia menjelaskan bahwa pemerintah memproyeksikan BPJS Kesehatan akan surplus Rp14 triliun pada 2020. Namun, jika terdapat carry over defisit senilai Rp 18 triliun maka tetap terdapat potensi defisit sekitar Rp4 triliun pada tahun depan.
"Kalau [pemerintah] tidak bisa menyelesaikan defisit pada 2019 bisa dengan menambahkan bantuan langsung, sumbang Rp10 triliun misalnya, carry over jadi Rp8 triliun maka 2020 dia [BPJS Kesehatan] masih surplus," ujar Timboel.
Menurut dia, proyeksi surplus BPJS Kesehatan pada 2020 telah mempertimbangkan kenaikan biaya pelayanan kesehatan, dana operasional, dan kenaikan upah pekerja. Untuk menekan biaya pelayanan kesehatan, pemerintah perlu bekerja keras meningkatkan kualitas layanan dan kesehatan masyarakat.
Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjelaskan bahwa pembayaran selisih kenaikan iuran senilai Rp 14 triliun akan dilakukan secara bertahap. Pihaknya akan menggunakan dana tersebut untuk membayar klaim jatuh tempo.
Klaim Jatuh Tempo 21 Triliun
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, klaim jatuh tempo per 31 Oktober 2019 tercatat senilai Rp 21,16 triliun. Fachmi menjelaskan bahwa dana yang diperoleh akan langsung didistribusikan ke kantor cabang untuk kemudian mulai dibayarkan ke rumah sakit pada hari yang sama.
Fachmi pun menjelaskan bahwa dengan adanya tambahan dana dari selisih kenaikan iuran, pemerintah tidak akan menggelontorkan dana bantuan langsung pada tahun ini. Pemerintah tercatat memberikan bantuan langsung kepada BPJS Kesehatan sejak 2015 hingga 2018.
"Iya, [pada tahun ini] enggak ada suntikan dana. Tahun depan juga enggak ada," ujar Fachmi kepada Bisnis, Jumat (1/11).
Timboel menjelaskan bahwa pemerintah perlu sangat fokus dalam menekan beban layanan kesehatan. Salah satu langkah yang perlu didorong adalah upaya promotif preventif, yakni dengan mengandalkan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai 'penjaga' kesehatan masyarakat.
Usulan agar Puskesmas Dikembalikan ke Fungsinya
Wacana tersebut telah digaungkan oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, yakni agar Puskesmas dikembalikan ke fungsinya semula. Hal tersebut menurut Timboel perlu mendapatkan dukungan dari seluruh unsur pemerintahan, baik di pusat dan daerah.
"Supaya usaha untuk membuat masyarakat sehat itu menjadi preventif dan promotif, tidak hanya kuratif. Jangan lagi mengidentikkan program Jaminan Kesehatan Nasional [JKN] itu kuratif," ujar Timboel kepada Bisnis usai gelaran diskusi bertajuk Menguak sebab BPJS Membengkak, di Jakarta.
Dalam diskusi tersebut, Ketua Biro Hukum dan Pembinaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Nazar menjelaskan bahwa salah satu hal lain yang perlu menjadi perhatian serius adalah praktik kecurangan di lingkungan rumah sakit. Hal tersebut turut memengaruhi besarnya beban layanan kesehatan BPJS Kesehatan.
Menurut Nazar, salah satu praktik yang banyak terjadi adalah re-admission, yakni pelayanan yang tidak optimal sehingga pasien perlu kembali berobat ke rumah sakit. Praktik tersebut membuat pihak rumah sakit dapat melakukan klaim sebanyak dua kali kepada BPJS Kesehatan.
Selain itu, praktik fraud lainnya adalah penggolongan penyakit ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga besaran klaim penyakit akan turut meningkat.
“Ini yang jadi permasalahan, akan memengaruhi defisit [BPJS Kesehatan]," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel