Bisnis.com, JAKARTA - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia berpendapat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak terbuka dalam menangani PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. sehingga menambah beban manajemen.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menyatakan Bank Muamalat sampai saat ini telah menyampaikan berbagai macam program penyelamatan, dan masih belum mendapat tanggapan positif dari otoritas.
Selain pihak otoritas yang tidak kurang baik dalam mengkomunikasikan rencananya, dan cenderung memperlambat aksi penyelamatan.
"OJK tidak pernah terbuka ketidakcocokan seperti apa, sehingga membuat jalan aksi penyelamatan ini lambat. Dan ada kecurigaan ini di-desain agar bank Muamalat bisa diambil alih dengan harga yang murah. Bank Muamalat itu tidak terlalu sulit tetapi dibuat sulit," katanya dalam acara diskusi Infobank Institute, Selasa (10/12/2019).
Piter melanjutkan, otoritas harusnya langsung memberi masukan uang dari Al Falah, sehingga Bank Muamalat bisa melakukan beberapa upaya penyelamatan sembari menunggu investor lainnya.
"Harusnya mereka itu masuk dulu, kan enggak perlu Rp7 triliun langsung. Setidaknya masuk dulu Rp2 triliun karena ini bisa memperbaiki trust, DPK [dana pihak ketiga] tumbuh, dan NPL [non-performing loan] akan turun," katanya.
Bank Muamalat telah mengajukan Al Falah Investment Pte. Limited untuk menyerap 77,1% dari keseluruhan saham baru yang akan diterbitkan hingga Rp2,2 triliun. Namun, opsi ini pun juga belum mendapat restu dari otoritas.
Sebagai informasi, permasalahan aset bermasalah bank syariah pertama ini sudah dimulai sejak krisis moneter Indonesia 1998. Perseroan waktu itu juga sempat menderita rasio kredit bermaslah lebih dari 50%.
Namun, karena mendapat suntikan modal dari IDB, perseroan justru membalikkan kondisi tersebut dengan pertumbuhan pembiayan 37% per tahun hingga 2013.
Meski pertumbuhan tersebut signifikan, nyatanyan perseroan tak dapat lepas dari berbagai aset buruk, dan justru semakin membebani perseroan hingga saat ini.
Sejak 1999 setidaknya ada empat direktur utama yang datang silih berganti. Mereka antara lain, Riawan Amin yang saat ini menjadi dewan kehormatan Asbisindo, Arviyan Arifin yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk., Endy PR Abdurrahman yang saat ini menjadi Komisaris Independen PT Zurich Topas Life Indonesia, dan Dirut Bank Muamalat saat ini Achmad Kusna Permana.
Pada tahun terakhir Riawan menjabat (2009), bank Muamalat sudah tercatat memiliki rasio NPF 4,73%. Selain itu, pada 2009 saja, Bank Muamalat pun menyisihkan pencadangan hampir Rp200 miliar dan restrukturisasi hingga Rp1,3 triliun dari pembiayaan piutang, qardh, mudharabah, dan musyarakah.
Sementara itu, pada tahun terakhir Arviyan menjabat (2014), Bank Muamalat tercatat memiliki rasio NPF 4,71%, yang kemudian di-restatement menjadi 6,55%.
Pada tahun terakhirnya, Arviyan masih membuat Bank Muamalat harus menganggarkan pencadangan sebesar Rp1,2 triliun, dan restrukturisasi Rp1,7 triliun dari semua akad pembiayaan.
Selain itu, tahun terakhir Endy menjabat pada 2017 pun tak menunjukkan perkembangan yang berbeda. Bahkan, pembiayaan yang selalu dipangkas setiap tahunnya membuat penanganan NPF menjadi semakin menantang.
Pada tahun itu, Endy sendiri harus memaksa Bank Muamalat melakukan pencadangan lagi sekitar Rp1,1 triliun dan restrukturisasi Rp130 miliar dari total pembiayaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel