Mengenang ‘Panas Dingin’ Harga Minyak Sepanjang 2019

Bisnis.com,21 Des 2019, 11:56 WIB
Penulis: Renat Sofie Andriani
Prediksi Harga Minyak WTI/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Kombinasi ‘jasa’ progres pembicaraan dagang Amerika Serikat-China, upaya pembatasan produksi oleh OPEC+, dan ketegangan di Timur Tengah berhasil mendorong harga minyak mentah melonjak sepanjang tahun 2019.

Sepanjang tahun berjalan (year-to-date) hingga perdagangan Jumat, 20 Desember 2019, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) tercatat melonjak lebih dari 30 persen dan berada di level US$61,05 per barel pada pukul 16.36 WIB, berdasarkan data Bloomberg.

Pada saat yang sama, harga minyak Brent di ICE Futures Europe Exchange mencatat lonjakan sebesar 23,49 persen secara year-to-date dan terpantau menyentuh level US$66,44 per barel.

Padahal, harga minyak mengawali tahun 2019 dengan volatilitas yang telah dialami pada tahun sebelumnya akibat terbebani ketidakpastian mengenai produksi minyak mentah dan kondisi ekonomi global.

Minyak WTI anjlok 25 persen sepanjang 2018 dan berakhir di US$45,41, sedangkan minyak acuan global Brent anjlok 20 persen. Bisa dibandingkan dengan pencapaian yang dicatatkan minyak sepanjang 2019.

Di antara sekian pergerakan signifikan yang dibukukan sepanjang 2019, pasar minyak sudah pasti tidak bisa melupakan ‘jasa’ serangan terhadap pabrik minyak Arab Saudi pada pertengahan September.

Serangan udara terhadap pabrik minyak milik raksasa minyak Arab Saudi, Saudi Aramco, pada 14 September itu berdampak pada dua pabrik Aramco, yakni di Abqaiq dan Khurais, sekaligus memukul pasokan minyak global.

Menurut Saudi Aramco, serangan tersebut menggerus produksi minyak perusahaan sebesar 5,7 juta barel per hari.

Tercatat pada perdagangan Senin (16/9/2019), baik minyak WTI maupun Brent naik gila-gilaan sekitar 15 persen. Baik volume perdagangan untuk Brent maupun WTI dilaporkan menyentuh rekor level tertingginya saat itu.

Gangguan produksi itu melebihi hilangnya produksi minyak Kuwait dan Irak pada Agustus 1990, ketika Saddam Hussein menyerbu negara tetangganya. Gangguan ini juga melebihi kehilangan produksi minyak Iran pada tahun 1979 selama Revolusi Islam, menurut Badan Energi Internasional (IEA).

Tiba di pengujung tahun ini, harga minyak siap mencetak reli kenaikan mingguan ketiganya setelah pemerintah AS dan China membuat lebih banyak progres menuju kesepakatan perdagangan fase satu.

Harga minyak mengencangkan lajunya sejak awal Desember setelah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan aliansinya (OPEC+) berjanji untuk membatasi produksi dengan lebih dalam.

OPEC dan produsen utama lainnya, termasuk Rusia, sepakat untuk memperdalam pengurangan produksi minyak mentah sebesar 500.000 barel per hari (bph) pada awal 2020.

Pemangkasan produksi OPEC+ pada tahun depan merupakan upaya tambahan atas pembatasan produksi yang disetujui sebelumnya oleh kartel minyak itu sebesar 1,2 juta barel per hari dan akan mewakili sekitar 1,7 persen dari produksi minyak global.

Sementara itu, langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah AS dan China untuk mengurangi sengketa perdagangan mereka turut meredakan kegelisahan investor seputar perlambatan pertumbuhan global, serta dampaknya terhadap permintaan.

Setelah melalui tarik ulur negosiasi perdagangan, pemerintah AS dan China berhasil menyepakati perjanjian fase satu. Dengan tercapainya kesepakatan ini, tarif baru AS untuk produk China yang sebelumnya direncanakan berlaku pada 15 Desember 2019 pun terhindari.

Dua negara berekonomi terbesar di dunia itu dikabarkan akan menandatangani pakta perdagangan tersebut pada Januari 2020.

Sentimen pendukung lain untuk berlanjutnya reli minyak untuk pekan ketiga Desember datang dari laporan turunnya jumlah persediaan minyak mentah AS ke level terendah sejak 1 November 2019.

Badan informasi energi AS, Energy Information Administration (EIA) pada Rabu (18/12) melaporkan bahwa persediaan minyak mentah AS turun 1,1 juta barel menjadi 446,8 juta barel pekan lalu.

Menurut John Driscoll, kepala strategi di JTD Energy Services Ltd., penyusutan jumlah stok minyak mentah AS beserta laporan progres pembicaraan perdagangan AS dan China mendukung harga minyak stabil menjelang akhir pekan.

“Namun, uji coba sebenarnya atas keyakinan China, dan signifikansi kesepakatan pendahuluan [fase satu] ini bisa dilihat tahun depan,” ujar Driscoll, seperti dilansir melalui Bloomberg.

Jeffrey Halley, analis pasar di Oanda Singapura mengatakan, sulit untuk membuat pandangan bearish pada minyak sekarang karena sentimennya cukup positif.

“Pasokan minyak terlihat lebih ketat dalam waktu dekat, dan akan ada sedikit aksi perdagangan selama jam perdagangan Asia seiring dengan datangnya liburan [Natal dan Tahun Baru],” terang Halley.

Harga minyak mentah kini berada di jalur terbaiknya sejak 2002 untuk bulan Desember. Saham sektor energi bahkan mampu membukukan kinerja terbaik dalam indeks S&P 500 pada perdagangan Kamis (19/12) menyusul laporan penurunan stok minyak mentah.

Menyusul persediaan minyak yang lebih ketat setelah OPEC dan aliansinya sepakat untuk memangkas lebih dalam produksi pada kuartal pertama tahun depan, Goldman Sachs menaikkan proyeksi harga minyak pada 2020,

“Kami meningkatkan proyeksi kami pada 2020,” tutur para analis Goldman dalam sebuah catatan seperti dikutip dari Reuters.

Goldman merevisi proyeksi harga Brent menjadi US$63 per barel untuk tahun depan dari perkiraan sebelumnya US$60 per barel, juga meningkat perkiraan harga WTI menjadi US$58,5 per barrel dari US$55,5 per barel.

Menurut perusahaan perbankan tersebut, revisi proyeksi harga itu mengkristalkan perubahan penting dalam perilaku OPEC+ untuk mengelola surplus dan defisit fisik jangka pendek.

Goldman juga merevisi perkiraan penawaran dan permintaan, yang merefleksikan alur produksi OPEC+ lebih lemah pada paruh pertama 2020.

“Revisi ini membawa kami untuk memperkirakan keseimbangan yang luas untuk pasar minyak pada 2020, sebanyak 0,3 juta bph lebih ketat dari perkiraan kami sebelumnya,” papar Goldman.

Goldman juga menurunkan perkiraan pertumbuhan stok minyak sebanyak 50.000 bph, dengan mengacu pada prospek pemulihan moderat dalam pertumbuhan global, ditopang oleh lebih tingginya belanja konsumen.

Bank itu kini memproyeksikan pertumbuhan permintaan sebesar 0,9 juta bph pada 2019 dan 1,2 juta bph untuk 2020.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Mia Chitra Dinisari
Terkini