PBNU: Indonesia Bisa Kehilangan 75 Persen Potensinya untuk Maju

Bisnis.com,06 Jan 2020, 16:28 WIB
Penulis: Rayful Mudassir
Perairan Natuna, Kepulauan Riau./Reuters-Tim Wimborne

Bisnis.com, JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung sikap tegas pemerintah terkait dengan pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di laut Natuna.

Menurut PBNU, keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun. Dalam jangka panjang, Nahdlatul Ulama meminta Pemerintah RI untuk mengarusutamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik.

Ketua Umum Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj dalam rilisnya mengatakan bahwa kedudukan laut juga amat strategis sebagai basis pertahanan. Karena itu pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan China, tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan.

“Ketidaksungguhan Pemerintah dalam melaksanakan konsep pembangunan berparadigma maritim, termasuk dalam geopolitik, ekonomi, dan pertahanan, akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensinya untuk maju dan sejahtera dan memimpin dunia sebagai bangsa bahari seperti amanat founding fathers,” katanya, Senin (6/1/2020).

Dia menyebut Nahdlatul Ulama sebagaimana dinyatakan oleh pendiri Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari bahwa hukum membela keutuhan Tanah Air adalah fardhu ‘ain atau wajib bagi setiap orang Islam. “Dan barang siapa mati demi tanah airnya, maka ia mati syahid.”

PBNU juga mendesak agar pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (China) berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI. Pasalnya wilayah itu telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Ketua Umum Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj mengatakan kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994.

“Karena itu tindakan Coast Guard RRT mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima,” katanya.

Ia menybeut bahwa Pemerintah RRT sebelumnya secara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam nine dash line pertama kali pada peta 1947.

Klaim ini menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut Selatan China yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Tiongkok. Klaim sepihak ini diyakini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam.

Sebagaimana diketahui, Filipina sebelumnya telah memperkarakan China atas tindakannya yang agresif di perairan Laut Selatan China pada 2013.

Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag pada 2016 memutuskan seluruh klaim teritorial China atas Laut Selatan China sebagai tidak memiliki dasar hukum, termasuk konsep nine dash line dinyatakan bertentangan dengan UNCLOS. Akan tetapi Beijing menolak keputusan tersebut.

Tindakan Beijing menolak keputusan tersebut dinilai merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap norma dan konvensi internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: M. Taufikul Basari
Terkini