Pergub DKI Nomor 133/2019 Beri Celah bagi Penghuni Nakal

Bisnis.com,07 Jan 2020, 23:05 WIB
Penulis: Ipak Ayu H Nurcaya
Warga Bukit Duri yang telah dipindahkan ke rusun melintas di area taman Rumah Susun Rawa Bebek, Jakarta, Kamis (6/7)./ANTARA-Galih Pradipta

Bisnis.com, JAKARTA - Analis menilai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 133/2019 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 132/2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik memberi celah bagi penghuni nakal.

Pasalnya, dalam salah satu poin aturan baru tersebut, penghuni rusun atau apartemen yang tidak membayar iuran pengelolaan lingkungan (IPL) atau service charge tidak dikenakan sanksi.

Peraturan tersebut terdapat dalam pasal tambahan yaitu pasal 102 C yang isinya menyatakan bahwa jika terjadi permasalahan di lingkungan rusun, Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) atau pengelola dilarang melakukan tindakan pembatasan atau pemutusan fasilitas dasar.

Fasilitas dasar yang dimaksud yakni penyediaan energi listrik, penyediaan sumber air bersih dan pemanfaatan atas denda, bagian dan tanah bersama, termasuk pemberian akses keluar masuk hunian.

Analis Hukum Pertanahan dan Properti Eddy Leks menilai dalam setiap aturan, memang akan selalu ada implikasi.

Dia pun menyayangkan ketentuan dalam Pergub tersebut yang masih terlalu luas. Menurutnya, alasan-alasan yang melarang pemberian fasilitas dasar sangat variatif.

"Ketentuan seperti itu justru bisa dimanfaatkan oleh penghuni yang memang dengan sengaja tidak mau membayar. Penghuni tersebut akan menggunakan alasan yang bisa saja dibuat-dibuat untuk kepentingannya, mengingat alasan untuk melarang pemutusan fasilitas dasar sangat luas," katanya melalui siaran pers, Selasa (7/1/2020).

Padahal, di sisi lain, uang pengelolaan itu sangat penting. Tanpa itu, rumah susun tidak bisa beroperasi dengan baik, dan akan muncul banyak masalah seperti keamanan dan keselamatan.

Selain itu, ketentuan tersebut adalah hal baru yang tidak ada sebelumnya dalam Peraturan Menteri PUPR. "Justru, di dalam lampiran Permen yang ada di dalam ART, malah diatur bahwa layanan bisa dihentikan berdasarkan tata tertib."

Hal-hal seperti ini, kata Eddy, yang sering kali muncul dalam penerbitan aturan-aturan di level daerah.

"Saya tidak heran pemerintah pusat mencanangkan omnibus law karena aturan-aturan di level daerah malah sering menyimpang atau tidak selaras dengan aturan pemerintah pusat. Dengan demikian, penafsiran hukum menjadi terdistorsi dan ini tidak baik bagi negara hukum seperti negara Indonesia,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Sutarno
Terkini