Defisit Neraca Perdagangan Industri Kimia Sulit Ditekan

Bisnis.com,17 Jan 2020, 19:38 WIB
Penulis: Oktaviano DB Hana
Pekerja beraktivitas di proyek pembangunan pabrik Polyethylene (PE) baru berkapasitas 400.000 ton per tahun di kompleks petrokimia terpadu PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (CAP), Cilegon, Banten, Selasa, (18/6/2019)./Bisnis-Triawanda Tirta Aditya

Bisnis.com, JAKARTA - Defisit neraca perdagangan di industri kimia diperkirakan masih berpotensi melebar dalam beberapa tahun ke depan. Dukungan kebijakan yang proindustri di sektor hilir dibutuhkan untuk memperkecil gap tersebut, di samping upaya merealisasikan investasi baru di sektor hulu.

"Gap [antara ekspor dan impor kimia] masih akan bertambah lebar, karena masih ada pertumbuhan demand [produk kimia], tetapi pasokan dari dalam negeri masih kecil," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiyono kepada Bisnis, Jumat (17/1/2020).

Menurutnya, aliran investasi yang signifikan ke sektor kimia hulu dalam satu dan dua tahun terakhir baru akan memberikan dampak signifikan pada 2023. Apalagi, saat ini sektor kimia hulu berkontribusi signifikan pada defisit neraca perdagangan industri tersebut.

Sekitar 55% kebutuhan bahan baku di sektor kimia hulu masih diekspor. Di sisi lain, kata Fajar, pertumbuhan produksi di industri kimia hilir, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor, masih relatif kecil.

"Nanti pada 2023 baru akan mengecil gapnya. Itu pun jika tidak diganggu oleh isu yang menganggu industri," ujarnya.

Fajar mengatakan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi industri kimia hilir terkait dengan isu negatif terkait produk kimia yang dianggap mencemari lingkungan. Sejumlah kebijakan, khususnya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan beberapa pemerintah daerah, yang memberikan restriksi terhadap pemanfaatan produk plastik dinilai menganggu pengembangan industri kimia hilir.

Selain itu, upaya untuk meningkatkan produksi industri hilir diadang oleh isu lemahnya daya saing akibat problem pengupahan di industri dan harga gas yang masih tinggi. "Kebijakan KLHK kian menganggu dan juga makin banyak peraturan daerah yang tidak mendukung, serta kenaikan UMR."

Oleh karena itu, Fajar menegaskan bahwa pemerintah perlu menjaga iklim usaha positif di industri kimia dengan dukungan kebijakan yang proindustri. Pihaknya berharap hadirnya undang-undang besar atau omnibus law bisa cukup meredam berbagai isu negatif tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Galih Kurniawan
Terkini