Bisnis.com, JAKARTA — Lemahnya penegakan aturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK terhadap industri asuransi dinilai turut menyebabkan munculnya berbagai masalah di sektor tersebut.
Pengamat asuransi dan mantan Komisioner Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 Irvan Rahardjo menilai bahwa terdapat sejumlah regulasi di sektor perasuransian yang pelaksanaannya masih lemah dan pengawasannya masih minim.
Beberapa peraturan terkait investasi, kesehatan keuangan, dan penyampaian laporan keuangan menurutnya kerap tidak terlaksana dengan baik. Hal tersebut kemudian memicu munculnya kasus semacam PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri (Persero).
Irvan menjelaskan bahwa terdapat praktik window dressing di tubuh Jiwasraya yang telah terjadi cukup lama, bahkan sejak era Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK). Namun, menurut Irvan, dalam kondisi tersebut OJK tetap meloloskan izin produk saving plan bagi Jiwasraya.
"Ketika Jiwasraya merugi karena menjual produk itu mereka juga tidak pernah menghentikan, harap diingat bahwa saving plan itu dihentikan bukan oleh OJK tetapi oleh Jiwasraya sendiri. OJK di sini telah lalai terhadap peraturannya" ujar Irvan kepada Bisnis, Minggu (19/1/2020).
Dalam kasus Asabri, menurut dia, OJK sempat menyampaikan teguran kepada asuransi wajib tersebut pada November 2019. Namun, ketika kasus Asabri mencuat, OJK mengatakan bahwa mereka tidak memiliki akses karena berdasarkan Peraturan Presiden (PP) Nomor 102/2015 OJK bukan merupakan pengawas Asabri.
"Itu hal yang kontradiktif ketika mereka mengawasi [keuangan] Asabri, tetapi ketika muncul persoalan mereka mengatakan tidak punya akses," ujar dia.
Irvan menilai adanya kesenjangan antara peraturan yang OJK buat dengan pengawasannya muncul salah satunya karena terdapat konflik kepentingan dengan industri. Hal tersebut muncul karena OJK memungut iuran dari perusahaan-perusahaan asuransi.
Menurut dia, di satu sisi OJK hidup dari industri melalui iuran tersebut, tetapi di sisi lain OJK harus mementingkan perlindungan konsumen melalui pengawasan industri yang ketat.
"Ketua Dewan Komisioner OJK [Wimboh Santoso] mengatakan kesenjangan itu sebagai regulatory and supervisory gap, regulasi dan supervisi itu berjarak jauh. Kenapa? Karena ada conflict of interest," ujar Irvan.
Wimboh menjelaskan bahwa pihaknya akan mempersempit selisih antara regulasi dan supervisi tersebut untuk mendorong pertumbuhan sektor keuangan. Hal tersebut disampaikannya di hadapan Presiden Joko Widodo dalam pertemuan tahunan Industri Jasa Keuangan 2020, Kamis (16/1/2020).
"Terdapat dua hal yang akan dilakukan OJK, pertama, melanjutkan harmonisasi si seluruh sektor jasa keuangan dari sisi pengaturan dan pengawasan, maupun enforcement terutama di Industri Keuangan Non Bank [IKNB]. Keduam meregistrasi market maker di bursa saham dengan kapitalisasi pasar kecil untuk meminimalkan potensi goreng menggoreng saham," ujar Wimboh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel