Kembangkan Obat Baru, Kalbe Farma Siapkan Anggaran Rp200 Miliar 

Bisnis.com,24 Jan 2020, 22:00 WIB
Penulis: Anitana Widya Puspa
Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk. Vidjongtius memberikan paparan saat berkunjung ke kantor Bisnis Indonesia, di Jakarta, Selasa (15/5/2018)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA -- PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF) telah menggelontorkan Rp1 triliun dalam mengembangkan produk obat bioteknologi paten Efepoetin Alfa dan masih akan mengguyur untuk tahap akhir senilai Rp200 miliar.

Presiden Direktur Kalbe Farma Vidjongtius mengatakan, produk yang digunakan untuk terapi anemia ginjal kronis ini telah memasuki fase uji klinik 3 yang masih harus dilanjutkan untuk fase keempat. Dia memperkirakan produksinya dapat mulai dikomersialkan pada 2022.

Menurut Vidjongtius rencana riset dan pengembangan fasilitas memang menjadi komitmen investasi perseroan.

"Proyek ini akan berjalan sekitar 1,5 tahun. Jadi tidak keluar dalam satu tahun tetapi 1 tahun dan tahun kedua. Tergantung pada aktivitasnya. Sudah kami siapkan anggaran senilai Rp200 miliar," jelasnya Jumat (24/1/2020).

Anggaran tersebut telah disesuaikan dengan komposisi saham yang dimiliki masing-masing pihak. Kalbe menggandeng Genexine Inc asal Korea Selatan dengan kepemililan masing-masing sebesar 60 persen dan 40 persen. Keduanya lantas membentuk anak usaha bernama PT Kalbe Genexine Biologics.

Proses komersialisasi produk akan terjadi bertahap. Setelah mengantongi persetujuan dari domestik pada 2022 pihaknya akan melanjutkan dengan ekspor pada 2023.

Sejauh ini KLBF memegang hak  untuk memasarkan meliputi seluruh Asia Tenggara, Timur Tengah,  Afrika, Australia, Taiwan termasuk Korea.

Vidjongtous mengharapkan kontribusi ekspor nantinya dapat mencapai  70 persen dari total penjualan.

"Dengan nilai investasi yang besar, kami harus sebanyak-banyaknya memperluas pasar,"imbuh Vidjongtius.

Sebagai gambaran, fase uji klinik yang harus dilalui dalam proses pengembangan obat paten adalah preklinik selanjutnya uji klinik fase 1 yang dilakukan pada manusia sehat untuk menentukan rentang dosis yang aman.

Kemudian uji klinik fase 2 dilakukan pada penderita dengan jumlah terbatas untuk melihat efek farmakologi yang tampak pada fase 1 berguna atau tidak untuk pengobatan.

Uji klinik fase 3 dilakukan pada penderita untuk memastikan obat baru memiliki efektivitas dan aman untuk digunakan.

Uji klinik fase 4 merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan.

Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan urgensi pengembangan obat baru tersebut direstui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui jalur Fast Track. BPOM menjanjikan pemrosesan selama 50 hari kerja dan nilai registrasinya Rp30 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Saeno
Terkini