Kontribusi Indonesia di GVC Belum Optimal

Bisnis.com,28 Jan 2020, 17:56 WIB
Penulis: Dewi Aminatuz Zuhriyah
Peserta berdiri di dekat logo Bank Dunia dalam rangkaian Pertemuan IMF World Bank Group 2018, di Nusa Dua, Bali, Jumat (12/10/2018)./Reuters-Johannes P. Christo

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia perlu membenahi sejumlah sektor agar bisa berkontribusi di rantai nilai global atau global value chains (GVC).

Ekonom Senior Universitas Indonesia Mari Elka Pangestu menuturkan salah satu penyebab Indonesia tidak optimal di GVC adalah  RI terlalu fokus pada ekspor produk mentah berupa  komoditas dibandingkan dengan produk manufaktur.

“Kita masuk dalam GVC  lebih pada memasok commodity, kita supply untuk user,” kata Mari Elka, Selasa (28/1/2020).

Kendala lain, menurutnya adalah sektor manufaktur RI yang belum terbuka untuk penanaman modal asing (PMA) di masa lampau. Selain itu, terdapat pula masalah tenaga kerja yang berkaitan dengan upah dan pesangon, serta logistik yang tidak efisien.

“Untuk manufacturing  banyak kendala-kendala seperti tidak terbukanya PMA di masa lalu, maupun masalah tenaga kerja, upah pesangon, kemudahan keluar masuknya barang logistik kita yang tidak efisien, sebenarnya itu yang sedang dalam proses diperbaiki, yang menyebabkan lambatnya dan kita jadi gak menarik untuk lokasi GVC, lanjutnya

Menurutnya, hal-hal tersebut harus dibenahi oleh pemerintah agar Indonesia bisa masuk dan optimal di GVC.

“Saat ini memang waktunya dilakukan perbaikan. Kalau tidak kita kita tidak bisa masuk ke global value chain. Tidak hanya manufacturing, kita juga harus memikirikan produk agriculture, karena kita banyak sumber daya alam. Maupun untuk sektor jasa-jasa, kemungkinan kita berkontribusi di global value chains.”

Sementara itu, Berdasarkan laporan World Bank, partisipasi Indonesia dalam sistem rantai nilai global (global value chain) masih belum maksimal akibat ketidakfokusan dalam pengembangan produk perdagangan dan inefisiensi biaya pelabuhan.

Chief Economist East Asia and Pacific dari World Bank Aaditya Mattoo melihat keikutsertaan Indonesia dalam rantai nilai global memiliki sejumlah sisi yang saling bertolak belakang.

Sebagai pengekspor komoditas mentah seperti minyak kelapa sawit dan batubara, partisipasi Indonesia cukup tinggi dan berkembang. Namun, sebagai importir bahan kain dan besi baja yang masing-masing digunakan sebagai bahan baku untuk produksi pakaian jadi dan kendaraan roda empat, partisipasi Indonesia rendah dan cenderung melemah.

“Hal ini terlihat dari proporsi ekspor untuk produk pakaian jadi, elektronik, dan suku cadang mobil ke negara-negara maju menurun, sementara ekspor produk serupa negara tetangga meningkat,”ujarnya.

Menurutnya, partisipasi ke depan (forward participation) pada komoditas mentah menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Di sisi lain, lemahnya partisipasi ke belakang (backward participation) di industri manufaktur mencerminkan tidak efektifnya upaya menopang transisi ke industri manufaktur dan jasa pada tahap yang lebih maju.

Kelemahan Indonesia dalam memanfaatkan rantai nilai global juga semakin dipersulit oleh tingginya biaya transportasi. Penyebabnya adalah peraturan yang membebani dan distorsi dalam harga pelabuhan (port pricing).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Yustinus Andri DP
Terkini