Jagat politik di tanah air ramai memperbincangkan kasus megaskandal gagal bayar klaim nasabah dan kerugian negara perusahaan ansuransi milik Negara (BUMN), PT Jiwasraya. Kasus ini sebenarnya sudah mulai muncul sejak tahun 2018, karena masalah seretnya liquiditas atau krisis keuangan Jiwasraya.
Barulah pertengahan tahun 2019, ketika Erick Thohir menjadi menteri BUMN, megaskandal Jiwasraya terbongkar ke publik. Awal mula kasus mencuat ke publik ketika pada pertengahan Desember 2019, manajemen Jiwasraya tak mampu lagi membayar polis nasabah dengan total kerugian senilai Rp 12 triliun.
Setelah pengumuman itu, sejumlah pemegang polis Jiwasraya mendatangi kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk meminta kepastian soal nasib uang mereka.
Besaran angka uang yang hilang inilah yang menyebabkan kasus Jiwasraya disebut megaskandal dan melibatkan banyak pihak mulai dari manajemen, pelaku di pasar modal dan pengambil kebijakan. Megaskandal Jiwasraya tentu jauh lebih besar dari kasus bail out ke PT Bank Century pada 2008 senilai Rp 6,7 triliun.
Banyak pemberitaan menyebutkan, jika semuanya terbongkar, total dugaan kerugian negara mencapai angkat Rp 32 triliun. Ini tentu angka yang sangat besar dan sulit bagi negara di tengah krisis ekonomi dan defisit neraca perdagangan untuk mencari skema terbaik menyelamatkan ansuransi milik negara ini.
Beberapa pihak yang terlibat dalam skandal Jiwasraya inipun telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Agung. Mereka-mereka itu, seperti Benny Tjokosaputro (Dirut PT Hanson International Tbk/MYRX), komisaris PT Trada Alam Mineral Tbk (TRAM), Heru Hidayat dan Hary Prasetyo (Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2013-2018).
Meskipun jelas-jelas kasus megaskandal ini sudah masuk kategori pidana, tetapi beberapa fraksi di DPR, seperti Fraksi Partai Demokrat menginginkan adanya Panja Jiwasraya. Perlu menjadi catatan bahwa selama ini yang namanya Panja hanya gagah-gagahan politik saja. Itu hanya menjadi keputusan politik DPR yang belum tentu dijalankan aparat penegak hukum, seperti pansus bail out ke Bank Century pada 2009 silam.
MANIPULASI KEUANGAN
Skandal Jiwasraya adalah modus korupsi paling canggih dan sulit, karena pelaku-pelakunya berusaha melakukan manipulasi akuntasi dan rekayasa keuangan yang sangat sulit dipahami awam biasa. Hanya orang-orang tertentu, yang jeli membaca neraca keuangan dan bentuk investasi yang dilakukan Jiwasraya yang sanggup membuka sisi gelap korupsi besar ini.
Ini memerlukan kejelian dan keberanian karena pelakunya juga adalah orang-orang yang pandai memanipulasi keuangan demi memperkaya diri. Membongkarnya pun memerlukan orang-orang yang pandai membaca dengan teliti lapangan keuangan.
Persoalannya adalah, Jiwasraya adalah perusahaan tertutup, sehingga sulit dilacak dan dimonitor setiap saat laporan keuangannya. Jejak manajemen, dan apa yang dilakukan manajemen dengan uang negara dan premi nasabah, publik tak pernah paham.
Jika perusahaan publik yang tercatat di pasar modal, pasti sudah lama publik membuka kasus menipulasi ini. Publik juga pasti sudah mengendus apa yang dilakukan manajemen dan bukan tak mungkin bencana yang terjadi hari-hari ini bisa dicegah. Nasabah pun sejak dari awal diberikan early warning untuk tidak membeli polis yang ditawarkan.
Sejak 2006-2017, Jiwasraya sudah terjadi window dressing. Window dressing adalah strategi yang dilakukan perusahaan untuk 'memoles' laporan keuangan. Sejak 2006-2017, Jiwasraya selalu membukukan laba dan bebas utang meningkat tajam.
Sementara itu, mulai 2018, equitas perusahaan minus Rp10 triliun. Dalam beberapa tahun terakhir, kinerja keuangan Jiwasraya menunjukan penurunan signifikan pada 2018, turun sebesar Rp282 miliar dan pada 2019 turun sebesar Rp805 miliar. Indikator-indikator keuangan di atas menunjukan adanya indikator laporan keuangan perseroan.
Hal yang lebih buruk lagi adalah Jiwasraya membeli beberapa saham dengan fundamental buruk. Dari laporan keuangan Jiwasraya menunjukan, portofolio sahamnya tinggal Rp1,5 triliun dan reksa dana saham tinggal Rp4 triliun.
Harga perolehan saham Rp5,6 triliun dan reksa dana Rp12,7 triliun (Baca: Lap Keuangan Jiwasraya). Perkiraan penurunan nilai (forecast impairment) akan ada kerugian lagi Rp1,2 triliun dari saham berdasarkan perhitungan kerugian yang sekarang mencapai angka Rp13 triliun.
Manajemen menggunakan uang nasabah dengan cara melakukan investasi di pasar saham. Investasi di pasar saham tentu tidak buruk, tetapi pilihan investasi menjadi sangat penting. Pemain saham yang ingin mendapat cuan di pasar saham biasanya bermain di saham-saham berfundental baik, seperti TLKM (PT Telkom Tbk.) atau PT Bank Central Asia Tbk. (BCA). Namun, yang terjadi Jiwasaraya malah menginvestasi dana nasabah di saham-saham berkinerja buruk.
Banyak yang mencurigai bahwa pihak manajemen mendapat fee. Boleh jadi, atas dasar itulah hampir 50 persen dari aset finansialnya, diinvestasikan ke saham. Padahal, perturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya membolehkan setiap emiten berinvestasi di saham maksimal 10 persen per saham dan keseluruhan investasi maksimal 40 persen dari jumlah investasi.
Namun, faktanya, sepanjang 2018, sebanyak 22,4 persen dari aset finansial diinvestasikan ke saham. Namun, hanya 5 emiten saham yang masuk ke LQ45 (saham berlikuiditas tinggi), sisanya ke emiten saham gorengan (fundamental rendah, volatilitas tinggi) dengan porsi 50 persen dari investasi saham 2018.
Saham-saham itu, seperti PT Semen Baturaja Tbk. (SMBR), PT SMR Utama Tbk. (SMRU), PT PP Properti Tbk. (PPRO), PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJBR), dan PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk. (BIPI), PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP).
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR pada Agustus 2019, manajemen Jiwasraya mengakui, pada 2016, investasi Jiwasraya saham SMBR pada harga rata-rata Rp1.555, dan PPRO di harga Rp1.000.
Pada akhir 2016, saham SMBR dan PPRO kemudian masing-masing ditutup di posisi Rp2.790, dan Rp1.360. Inilah kenapa Jiwasraya pada akhir tahun 2016 membukukan keuntungan dari perubahan nilai wajar efek-efek’.
Perlu menjadi catatan bahwa saham SMBR dan PPRO adalah saham second liner yang tentu saja tidak se-likuid blue chip seperti BBCA. Membeli saham seperti itu dengan angka triliunan rupiah tentu sangat berisiko, karena akan sulit menjualnnya. Apalagi secara fundamental, perusahaan-perusahaan ini tidaklah istimewa.
Memang sulit bagi kita membuktikan bahwa saham-saham itu kategori saham gorengan. Namun, ada indikasi yang bisa kita lihat, seperti dalam seminggu saja, saham-saham itu melonjak sangat tinggi. Padahal, secara keuangan, perusahaan ini berkinerja sangat buruk.
Semestinya, Jiwasraya yang memegang dana nasabah dan dana negara, menginvestasikan dana ke perusahaan-perusahaan berfundamental baik agar untung dan tidak berisiko.
Perusahaan investasi seharusnya tidak bermain saham di saham gorengan karena besar kemungkinan nilai investasinya kemungkinan akan turun, sedangkan perusahaan ansuransi dituntut memiliki nilai investasi yang pengembaliannya baik. Hal itu penting agar cash flow-nya tetap terjaga pada saat diklaim nasabah.
SKEMA PENYELAMATAN
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentu tidak bisa dipersalahkan karena dianggap abai mengawasi laporan keuangan Jiwasraya. Toh sejak tahun 2004 (waktu itu BAPEPAM) , sudah melaporkan kasus ini kepada pemegang saham, Kementerian BUMN. OJK sudah melaporkan sejak awal bahwa equitas Jiwasraya ini sudah negatif. Namun, sayangnya, pemegang saham tidak menjalankan apa yang sudah disamapiakan OJK.
Menurut saya, OJK tidak bisa berbuat banyak juga jika pemegang saham tak menjalankan pengawasan, karena secara politis, posisinya kelihatan inferior, sementara kementerian BUMN terlihat sangat superior.
Langkah kementerian BUMN menyelamatkan Jiwasraya dengan cara membentuk holding BUMN Asuransi. Dalam skema itu, Jiwasraya akan dibantu pendanaan oleh BUMN lainnya dengan imbalan sinergi, sehingga menjadi semacam subsidi silang.
Itu penting agar Jiwasraya mampu membayar kewajiban kepada para nasabah pemegang polis, daripada hanya menjadikan kasus ini sebagai komoditas tak berkesudahan. Jadi, perlu ada suntikan modal ke Jiwasraya. Asuransi swasta juga ada yang merugi sampai Rp2 triliun, tetapi beberapa perusahaan langsung di cut off, lalu pemegang saham datang menyuntikan modal untuk menyelamatkan.
* Penulis adalah Peneliti Pada Alpha Research Database, Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel