Kasus Jiwasraya, Tanda Tanya di Wisma Mulia 2

Bisnis.com,09 Feb 2020, 23:32 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Warga melintas di dekat logo Asuransi Jiwasraya di Jakarta, Kamis (25/12/2019). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Sekitar 50 orang pemegang polis JS Plan PT Asuransi Jiwa Jiwasraya mendatangi kantor OJK di Wisma Mulia 2, Jakarta pada Kamis (6/2). Kedatangan ini untuk mencari kejelasan pengembalian uang mereka. Itu merupakan kunjungan kedua para pemegang polis, setelah yang pertama berlangsung pada 17 Desember 2019.

Salah seorang nasabah Haresh Nandwani menjelaskan bahwa kedua kunjungan itu berujung kekecewaan. Berdasarkan pantauan Bisnis, kunjungan pertama mereka tak membuahkan hasil, para nasabah 'terlantar' di lobi gedung hingga petang.

Pada kunjungan kedua, para nasabah berhasil bertemu dengan Deputi Direktur Pengawasan Asuransi OJK I Wayan Wijana, Deputi Direktur Hubungan Kelembagaan OJK Nurita, dan seorang staf bidang edukasi perlindungan konsumen. Pertemuan selama tiga jam berlangsung di lantai 12 Wisma Mulia 2.

Haresh menuturkan bahwa pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil yang pasti, terkait pengembalian uang mereka dari polis JS Plan. Para nasabah justru dikecewakan dengan pernyataan pihak OJK bahwa Jiwasraya sedang dirundung kerugian pada 2013, saat produk saving plan itu dipasarkan.

"Mereka [OJK] tadi mengakui bahwa pada 2013 mereka tahu Jiwasraya ini merugi, tidak sehat. Kalau sudah tahu kenapa diizinkan menjual produk baru ini? Kan sama saja mereka terlibat," ujar Haresh.

Menurut dia, para nasabah sontak mempertanyakan pernyataan pihak OJK tersebut, tetapi tidak ada penjelasan pasti mengenai bagaimana otoritas bisa merestui produk tersebut.

Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Manajemen Strategis OJK Anto Prabowo membenarkan bahwa Jiwasraya sedang mengalami kerugian pada 2013. Bahkan, berdasarkan catatan otoritas, Jiwasraya sudah mengalami kekurangan modal sejak 2004.

Anto menyebutkan izin produk JS Plan keluar pada Desember 2012 dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) di bawah Kementerian Keuangan. Sehingga, saat pengawasan industri asuransi beralih kepada OJK pada 2013, otoritas telah menerima kondisi Jiwasraya begitu adanya.

"Pada 2013, OJK menerima Jiwasraya as it is, kami enggak bisa memilah-memilih kondisi yang bagus yang jelek. Pada Januari 2013 itu kekurangan modal tertopang oleh reasuransi, tanpa itu akan defisit, makannya OJK tidak mau memperpanjang reasuransi dan meminta pemilik melakukan upaya penyehatan yang lebih sustainable," ujar Anto kepada Bisnis, Kamis (6/2).

Dia pun menjelaskan bahwa produk saving plan memiliki jangka waktu 3–5 tahun, sehingga penjualan produk itu bukan semata-mata merupakan upaya untuk menutup kerugian pada 2013. Menurut dia, penyehatan justru dilakukan melalui pemberhentian skema reasuransi.

"Jadi kalau ditanya ketegasan OJK di mana [terkait penjualan JS Plan saat merugi], itu," ujar Anto.

Anto menunjukkan data bahwa pada 2004 Jiwasraya melaporkan cadangan yang lebih kecil dari seharusnya, terdapat insolvency hingga Rp2,76 triliun kala itu. Dalam data tersebut tertulis bahwa defisit Jiwasraya terus melebar menjadi Rp3,29 triliun pada 2006, Rp5,7 triliun pada 2007, dan Rp6,3 triliun.

"Per 31 Desember 2012, dengan skema financial re-asuransi, Jiwasraya masih mencatat surplus sebesar Rp1,6 triliun. Namun, tanpa skema finansial reasuransi maka Jiwasraya mengalami defisit sebesar Rp3,2 triliun," tertulis dalam data yang diberikan Anto tersebut.

Data yang ditunjukkan Anto memiliki kesamaan dengan dokumen ekuitas Jiwasraya pada 1997–2019 yang diperoleh Bisnis. Dalam dokumen tersebut, tertulis bahwa Jiwasraya mencatatkan ekuitas negatif Rp0,54 triliun pada 1997.

Dalam dokumen tersebut terdapat dua catatan ekuitas Jiwasraya, yakni ekuitas sesuai buku dan ekuitas objektif yang merujuk kepada catatan-catatan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 1998–2001 dan audit kantor akuntan publik (KAP) pada 2002–2017.

Setelah 1997, ekuitas negatif Jiwasraya kembali tercatat pada 2002 sebesar Rp2,9 triliun. Setelah itu, pada 2003 hanya terdapat data ekuitas senilai Rp0,37 triliun, lalu pada 2004 terdapat catatan ekuitas Rp0,4 triliun dengan ekuitas negatif Rp2,76 triliun, sesuai dengan data OJK yang ditunjukkan Anto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggara Pernando
Terkini