Gawat, Virus Corona Hantam Perbankan China

Bisnis.com,10 Feb 2020, 14:52 WIB
Penulis: Reni Lestari
Warga mengenakan masker di stasiun kereta di Beijing, China, Jumat (24/1/2020)./Yomiuri Shimbun via Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Ketika Beijing tengah membenai krisis perbankan di dalam negerinya, ancaman yang jauh lebih parah melanda sistem perbankan China. Perlahan, virus corona yang mematikan menghantam ekonomi negara itu.

Perbankan Negeri Tirai Bambu telah mengalami gagal bayar akibat ekonomi tahun lalu mengalami perlambatan paling buruk dalam tiga dekade terakhir. Saat itu, sistem perbankan nasional China terpukul senilai US$41 triliun dan memaksa penyitaan bank pertama dalam dua dekade.

Tak ayal, kondisi itu menyababkan skenario ekonomi terburuk dalam banking stress test China tahun lalu mengemuka. Skenario itu mencatat pertumbuhan ekonomi tahunan melambat ke level 4,15 persen. Angka ini menunjukkan rasio pinjaman macet di 30 bank terbesar di negara itu akan naik lima kali lipat. Analis mengatakan bahwa wabah dapat menyebabkan pertumbuhan kuartal pertama menjadi hanya 3,8 persen.

"Industri perbankan mendapat pukulan besar. Wabah telah merusak bisnis kecil yang paling bersemangat di China dan jika itu berlanjut, banyak perusahaan akan bangkrut dan tidak mampu membayar kembali pinjaman mereka," kata You Chun, seorang analis yang berbasis di Shanghai di National Institution for Finance & Development, dilansir Bloomberg, Senin (10/2/2020).

Perusahaan pemeringkat utang S&P Global memperkirakan bahwa skenario terburuk akan menyebabkan utang macet membengkak sebesar 5,6 triliun yuan (US$800 miliar), dengan rasio sekitar 6,3 persen.

Bank-bank dengan operasi yang terkonsentrasi di Provinsi Hubei dan ibukotanya, Wuhan, kemungkinan akan mengalami kenaikan paling tinggi pada pinjaman bermasalah.

Wilayah ini memiliki 4,6 triliun yuan pinjaman yang disalurkan oleh 160 bank lokal dan asing pada akhir 2018, dengan lebih dari setengahnya berada di Wuhan. Menurut data resmi, lima bank negara besar menyalurkan 2,6 triliun yuan di wilayah itu, diikuti oleh 78 pemberi pinjaman pedesaan setempat.

Wabah virus ini datang setelah perselisihan perdagangan yang tidak terselesaikan antara AS dengan banyak bank yang kekurangan modal. Hal itu bisa menyebabkan bank-bank yang menopang pertumbuhan ekonomi berada dalam bahaya karena tekanan yang semakin besar.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi terlihat anjlok pada kuartal ini, bahkan di tengah suntikan uang tunai yang besar dari bank sentral. Stagnasi itu akan tergantung pada seberapa cepat pihak berwenang dapat menangani virus yang menyebar dan akhirnya kembali menghidupkan mesin ekonominya.

Jika wabah masih akan berlangsung selama 3 bulan, UBS Group AG memperkirakan pertumbuhan akan melambat menjadi 3,8 persen pada kuartal pertama dari kecepatan 6 persen pada akhir tahun dan menjadi 5,4 persen untuk 2020. Sedangkan jika virus lebih berkepanjangan, pertumbuhan tahunan bisa turun di bawah 5 persen.

Goldman Sachs Group Inc. juga memprediksi penurunan tajam pada kuartal ini ke angka 4 persen dan masih memprediksi pertumbuhan tahunan hingga 5,5 persen.

Adapun pembuat kebijakan meminta bank-bank terbesarnya, termasuk Bank Industri dan Komersial China Ltd., memberi pinjaman lebih murah pada usaha kecil. Zhou Liang, Wakil Ketua Komisi Pengaturan Perbankan dan Asuransi China mengatakan, potensi peningkatan kredit macet dapat dikelola.

Pemberi pinjaman China mencatatkan kredit buruk 3 triliun yuan tahun lalu saja. Dia menambahkan bahwa rasio pinjaman buruk dari bisnis kecil China berada di angka 3,22 persen.

"Stabilitas sosial sangat penting bagi pihak berwenang di China. Karena itu, bank diminta untuk membantu memikul beban wabah kesehatan ini," kata analis S&P Tan Ming.

Sebagian besar bank negara setuju untuk memotong biaya pinjaman kepada perusahaan-perusahaan yang dilanda virus sebesar 0,5 poin persentase. Dewan Negara juga ingin memastikan bahwa usaha kecil membayar tidak lebih dari 1,6 persen dengan subsidi pemerintah.

Pembiayaan yang lebih murah dapat membantu perekonomian yang lebih luas. Jika suku bunga di bawah 5 persen berarti bank hampir tidak menghasilkan cukup uang untuk menutupi biaya pendanaan setelah memperhitungkan risiko gagal bayar.

"Perbedaan utama dari krisis keuangan global 2008, atau pecahnya SARS tahun 2003 adalah kurangnya modal bank saat ini untuk mendukung stimulus kredit yang dipimpin oleh bank yang agresif," kata Grace Wu, kepala Greater China Banks di Fitch Ratings di Hong Kong.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hadijah Alaydrus
Terkini