Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan asuransi dapat melakukan reasuransi atas setiap polis yang dibeli nasabah. Terutama produk dengan klaim di atas kemampuan perusahaan. Dengan reasuransi ini maka perusahaan mampu mengelola risiko yang akan timbul karena sudah dialihkan sebagian.
Jika klaim terjadi, perusahaan asuransi membayar terlebih dahulu klaim yang masuk untuk kemudian ditagihkan ke perusahaan reasuransi.
Biasanya perusahaan asuransi umum semenjak akhir tahun sudah mengikat kontrak dengan reasuransi untuk berbagi bisnis. Baik dalam bentuk reasuransi otomatis atau treaty, maupun reasuransi yang bersifat seleksi per polis atau fakultatif. Perusahaan asuransi jiwa seringkali membuat perjanjian reasuransi selektif per produk.
Dalam kontrak treaty maka perusahaan reasuransi akan membayar seluruh polis nasabah selama sesuai dengan kontrak. Asuransi cukup mengajukan klaim.
Perusahaan asuransi juga tidak perlu melaporkan kondisi nasabah satu per satu, selama memenuhi syarat dan ketentuan maka perusahaan reasuransi akan menjadi penanggung sebagian risiko yang timbul.
Sedangkan dalam kontrak fakultatif, perusahaan reasuransi akan menilai kembali setiap polis yang diajukan perusahaan asuransi. Reasuransi dapat memperkecil risiko yang harus mereka tanggung ataupun menolak polis yang masuk.
Penolakan akan membuat seluruh polis menjadi tanggungan perusahaan asuransi. Tergantung perseroan dalam mengatur risiko yang akan mereka kelola, otoritas hanya mewajibkan dilakukan reasuransi di dalam negeri untuk klaim sederhana.
Dalam kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwa Jiwasraya (Persero) dan keterlambatan pembayaran polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera diketahui perusahaan telah mereasuransikan seluruh bisnis yang mereka peroleh. Ini seperti yang disampaikan oleh otoritas jasa keuangan (OJK). Reasuransi dalam kedua perusahaan membuat neraca keuangan perusahaan terlihat baik.
Demikian juga risiko ditanggung perusahaan yang tercermin dalam Risk Based Capital (RBC). Aturan rasio batas modal terhadap risiko yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar minimal 120 persen dapat dilewati perusahaan. Lalu, setelah dilakukan reasuransi kenapa polis nasabah tidak dapat dibayarkan ketika klaim diajukan?
Praktisi reasuransi dengan kantor regional di Malaysia, Delil Khairat menyebutkan perusahaan asuransi dapat menjual produk dengan penyebutan apapun kepada nasabah sepanjang diizinkan regulator. Namun, untuk produk asuransi jiwa dengan unsur investasi seperti unitlink ataupun saving plan, polis memiliki dua komponen utama yakni proteksi yang meliputi kematian, sakit hingga kecelakaan serta komponen investasi.
“Bagi reasuransi model produk yang dijual perusahaan asuransi tidak terlalu relevan. Perusahaan asuransi hanya mereasuransikan komponen proteksi saja, sedangkan bagian investasi tidak direasuransikan. Kegagalan investasi tidak ada kaitannya dengan reasuransi karena reasuransi hanya ikut menanggung komponen proteksi” kata Delil, ketika dihubungi, Senin (10/2/2020).
Delil menyebutkan dalam kasus gagal bayar produk saving plan Jiwasraya, perusahaan asuransi milik negara itu relatif terlalu berani menambah risiko yang ditanggung sendiri. Risiko ini yakni jaminan yang akan dibayarkan kepada nasabah dengan imbal hasil tetap.
Dengan kondisi pasar keuangan yang tidak stabil, Delil menyebutkan skema ini memiliki risiko yang sulit diprediksi kemudian hari.
Praktisi reasuransi yang sering mengadakan pelatihan bagi para penilai di perusahaan asuransi Indonesia ini menyebutkan produk saving plan Jiwasraya yang kemudian gagal bayar memiliki skema berbeda dengan produk sejenis seperti endowment yang juga memberi kepastian pengembalian uang nasabah ketika kontrak berakhir.
Produk endowment ini seperti asuransi pendidikan, asuransi berangkat haji ataupun produk sejenis yang banyak dipasarkan oleh Jiwasraya dan AJB Bumiputera.
“Saving plan dan endowment menyasar segmen berbeda. Saving plan motivasinya investasi karena itu pemegang polis biasanya menyetorkan sejumlah dana dalam jumlah relatif besar di awal. Sementara endowment sifatnya produk jangka panjang dengan premi dicicil sampai akhir periode,” katanya.
Untuk itu, Delil mengingatkan perusahaan asuransi di Indonesia lebih hati-hati dalam merancang produk. Risiko yang sulit diprediksi di masa depan harus dikelola dengan lebih prudent.
Saat ini, kasus asuransi Jiwasraya dan Bumiputera menggelinding menunggu penyelesaian. DPR RI sebagai mitra pemerintah telah membentuk tiga panitia kerja (Panja) kasus Jiwasraya guna memastikan uang nasabah, pembenahan tata kelola hingga kasus hukum dapat diselesaikan dengan tuntas. Dibutuhkan dana hingga Rp32 triliun untuk memulihkan perusahaan asuransi ini.
Sementara itu, untuk AJB Bumiputera pemerintah menerbitkan payung hukum PP No.87/2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Dengan payung hukum ini, maka diharapkan langkah pengembalian uang nasabah yang jatuh tempo hingga akhir 2020 nanti sebesar Rp9 triliun lebih dapat direalisasikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel