Industri Baja Masih Tunggu Kepastian Penurunan Harga Gas

Bisnis.com,19 Feb 2020, 21:41 WIB
Penulis: Ipak Ayu H Nurcaya
PT Tsingshan Steel Indonesia di Morowali menggunakan proses peleburan blast furnace yang matang, dengan karakteristik biaya yang rendah, hasil produksi yang tinggi, teknologi yang matang, dan risiko teknik rendah. /imip.co.di

Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha industri baja memastikan masih akan menunggu kepastian hasil implementasi penurunan harga gas

Wakil Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Ismail Mandry mengatakan pihaknya juga baru saja menggelar pertemuan dengan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, Presiden akan menurunkan harga gas pada akhir Maret.

"Namun kita di hilir belum mau berandai-andai dulu karena misalnya, di pabrik saya nanti saya belum tau apakah dapat harga gas yang US$6 semua atau tidak, pasokan gasnya bisa memenuhi semua pabrik atau tidak," katanya kepada Bisnis, Rabu (19/2/2020).

Ismail mengemukakan saat ini masih banyak pertanyaan dalam benak pelaku usaha terkait dampak gas. Alhasil, belum ada asumsi yang tepat untuk kepastian efek industri hilir.

Sementara itu, rencana pabrikan yang telah disusun sejak Desember 2019 belum akan berubah banyak dan masih menggunakan asumsi awal harga gas yang belum mengalami penurunan.

"Soalnya keputusan Presiden baru keluar awal tahun ini, jadi saya rasa produksivitas tidak akan jauh berbeda dengan tahun lalu," ujar Ismail.

Sisi lain, Ismail memastikan asosiasi akan memberikan rincian data proyeksi produksivitas baja long maupun flat pada pekan depan usai pertemuan rutin.

Sebelumnya, Ketua Umum IISIA Silmy Karim mengatakan fokus pabrikan baja nasional yang terbaik saat ini adalah pendalaman pasar domestik. Pasalnya, lanjutnya, utilisasi rata-rata pabrikan baja saat ini berada di bawah level 50 persen.

"Keluhan anggota juga cukup tinggi karena derasnya impor, terutama pada 2018—2019," ujarnya.

Silmy menyarankan kepada pemerintah bahwa kondisi yang paling ideal adalah penerapan bea masuk anti subsidi dan anti dumping. Selain itu, ujarnya, asosiasi juga menyarankan adanya harga minimum impor.

Menurutnya, hal itu dapat mencegah adanya penyelewengan pos tarif (post circumvention) yang selama ini dilakukan pada impor alloy steel. Seperti diketahui, oknum importir menyatakan bahwa barang yang dikirimkan sebagai carbon steel saat mengirimkan alloy steel untuk mendapatkan tidak dikenakan karbon.

"Alloy steel itu tidak ada yang harganya di bawah US$800/ton. Ini [oknum] mengimpor dengan [harga] US$300—US$400/ton. Itu ada pengalihan HS Code," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: David Eka Issetiabudi
Terkini