Soal HGB Apartemen, Pemerintah Diminta Tiru Singapura

Bisnis.com,05 Mar 2020, 15:08 WIB
Penulis: Mutiara Nabila
Apartemen di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Peminat apartemen di Jakarta dari segmen milenial semakin besar karena tingginya kebutuhan akan hunian yang dekat dengan lokasi kerja. Namun, sejumlah hal jadi pertimbangan bagi konsumen ketika ingin membeli apartemen, salah satunya Hak Guna Bangunan (HGB) yang pendek.

Menurut riset Jakarta Property Institute (JPI) kepada 300 responden di seluruh Jabodetabek, HGB pendek membuat konsumen ragu ketika ingin memiliki hunian vertikal.

“Peminat apartemen sampai 54 persen, sedangkan 46 persen sisanya tidak berminat karena selain cicilan mahal, lebih suka tinggal di rumah tapak, tapi juga batas waktu kepemilikan sertifikat HGB [Hak Guna Bangunan] turut membuat milenial enggan tinggal di apartemen,” ungkap Direktur Program JPI Mulya Amri di Jakarta, Kamis (5/3/2020).

Saat ini, di Indonesia untuk hunian vertikal, sertifikat yang penghuni dapatkan adalah sertifikat HGB yang mempunyai rentang waktu kepemilikan selama 30 tahun. Adapun, HGB bisa diperpanjang dengan jangka waktu maksimal 20 tahun

Sedangkan untuk rumah tapak, sertifikat yang didapat adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) tanpa rentang waktu kepemilikan atau berlaku selamanya.

"Ini [apartemen] hanya bisa diwariskan oleh keluarga hanya satu generasi," kata Mulya.

Menurut JPI, agar membuat apartemen semakin menarik untuk dijadikan pilihan hunian salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menambah masa pemilikan HGB, semisal mencontoh Singapura menjadi 99 tahun.

Menurut Mulya, jangka waktu yang lebih lama tersebut membuat kepemilikannya bisa diwariskan hingga tiga atau empat generasi. Mulya mengusulkan, agar pemerintah bisa mengadopsi kebijakan Singapura.

“Kebijakan itu bakal menarik minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal. Terlebih, lahan di Jakarta juga semakin terbatas,” katanya.

Adapun, terkait dengan harga apartemen yang mahal karena keterbatasan lahan, Mulya mengatakan pemerintah bisa membangun hunian vertikal murah di lahan milik pemerintah yang tidak optimal pemanfaatannya. Contohnya, pembangunan rumah susun di atas bangunan pasar Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

"Di negara lain, banyak hunian dibangun di atas pasar. Ini bisa mengatasi mahalnya harga tanah sehingga harga jual apartemen bisa lebih terjangkau. Milenial juga bisa kembali tinggal di Jakarta, Tak cuma itu, efek dari urban sprawl [pengembangan kota yang tidak terstruktur] makin berkurang,” lanjutnya.

Ditemui di saat yang sama, Executive Director JPI Wendy Haryanto menambahkan bahwa Jakarta sebetulnya belum cukup padat. Jika dibandingkan dengan Singapura atau Hong Kong, kepadatan Jakarta masih jauh di bawah dua kota tersebut.

“Yang membuat Jakarta padat adalah terlalu banyaknya pengembangan landed [rumah tapak], sehingga lahannya penuh tapi secara pemanfaatan jadi rendah,” kata Wendy.

Dengan adanya beragam infrastruktur yang sudah dibangun, imbuh Wendy, seharusnya keberadaan hunian vertikal tidak lagi menjadi kekhawatiran akan menambah kemacetan.

“Hal ini bisa diselesaikan kalau KLB [Koefisien Lantai Bangunan] di Jakarta bisa ditingkatkan. Selain jadi bisa menampung lebih banyak orang, juga bisa membuat harga apartemen jadi lebih terjangkau,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Fitri Sartina Dewi
Terkini