Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan restrukturisasi kredit perlu diikuti dengan aturan lanjutan agar tidak berdampak pada kinerja bank beraset kecil maupun bank perkreditan rakyat (BPR).
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, sebelum adanya wabah COVID-19, pertumbuhan perbankan cenderung melambat dalam dua tahun terakhir, terutama dari sisi BPR. Kondisi ini akan mendorong perlambatan pertumbuhan lebih jauh ketika wabah COVID-19 merebak.
Risiko perlambatan ataupun bahkan kontraksi pendapatan akan cenderung lebih besar dialami oleh bank-bank beraset kecil, terutama BPR. “Karena terbatasnya mereka [BPR dan bank beraset kecil] dalam mendiversifikasi pendapatannya, berbeda dengan bank-bank BUKU II ke atas,” katanya kepada Bisnis, Selasa (31/3/2020).
Menurutnya, OJK sudah menyiapkan pelonggaran syarat kualitas aset sehingga bank-bank akan lebih cepat dan mudah dalam melempar kredit ke perusahaan. Pelonggaran syarat penilaian kualitas aset diharapkan membuat pertumbuhan kredit secara umum tidak melambat secara signifikan.
Selain itu, NPL mungkin cenderung akan meningkat secara stabil karena kebijakan dari OJK berupa restrukturisasi ini akan memasukan perusahaan-perusahaan yang mengambil langkah restrukturisasi ke dalam aset lancar.
Josua menilai kebijakan dari OJK ini cenderung bermanfaat untuk membatasi NPL yang berisiko meningkat akibat COVID-19.
Hanya saja, untuk menahan dampak COVID-19 terhadap BPR dan bank-bank dengan aset kecil lainnya, pemerintah perlu mendorong adanya aturan lebih lanjut terkait kompensasi atas sektor perbankan dalam menjalankan stimulus dari pemerintah.
“Dari sisi pemerintah sendiri, aturan ini mungkin baru akan diformulasikan setelah adanya Peppu terkait kelonggaran batas defisit APBN dari 3% menjadi 5 persen, mengingat sumber daya pemerintah saat ini cenderung diprioritaskan pada penanganan wabah COVID-19,” katanya.
Adapun dalam kesempatan sebelumnya, kebijakan keringanan kredit yang dirilis pemerintah dinilai akan memberatkan kondisi likuiditas bank, khususnya bank beraset kecil dan bank perkreditan rakyat (BPR).
Perhimpunan bank perkreditan rakyat Indonesia (Perbarindo) sempat menyampaikan surat permohonan relaksasi ketentuan dan peraturan BPR. Perbarindo menilai kebijakan OJK mengenai relaksasi kredit akan menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda.
Hal ini kemudian akan berdampak pada risiko likuiditas berupa BPRS yang kesulitan cashflow, terkena masalah likuiditas karena tidak ada angsuran yang masuk dan nasabah penyimpan akan cenderung mengambil dananya.
Dari risiko kredit, berpotensi terjadi moral hazzard untuk tidak membayar angsuran dan industri BPR-BPRS berpotensi tidak mampu melakukan penyisihan dan pencadangan risiko kredit sesuai dengan ketentuan regulasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel