Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia menerapkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas atau quantitative easing (QE) untuk menangkal dampak negatif virus Corona (Covid-19).
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pihaknya telah menggelontorkan QE sebesar Rp300 triliun sejak awal 2020. BI kembali menginjeksi pasar keuangan dan perbankan seiring belum meredanya pandemi Covid-19 di Indonesia.
Beberapa langkah lanjutan tersebut, antara lain penurunan giro wajib minimum (GWM) rupiah 200 bps, tidak memberlakukan kewajiban untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), dan menaikkan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional dan sebesar 50 bps untuk bank umum syariah/unit usaha syariah.
"Dari penurunan GWM ada tambahan Rp102 triliun, tidak memberlakukan kewajiban giro Rp15,8 triliun. Keduanya total Rp117,8 triliun. Jika ditambah yang sudah dilakukan Rp300 triliun jadi semuanya Rp417,8 triliun," katanya saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) secara virtual, Selasa (14/4/2020).
Berdasarkan catatan Bisnis, BI telah menginjeksi likuditas hampir Rp300 triliun yang digunakan untuk membeli SBN (Surat Berharga Negara) Rp168 triliun yang dilepas investor, repo perbankan Rp55 triliun, dan penurunan GWM rupiah dan valas sebesar Rp75 triliun.
Perry mengatakan QE yang digelontorkan bank sentral tidak bisa berjalan secara parsial. Menurutnya, keberhasilan QE tidak lepas dari kebijakan stimulus yang diberikan pemerintah dan restrukturisasi kredit yang diatur oleh Otorita Jasa Keuangan (OJK).
"Bagaimana caranya QE yang diterapkan BI dapat mendorong perekonomian dan dunia usaha di periode covid-19," jelasnya.
QE 1998 VS 2008
BI pernah melakukan operasi moneter, khususnya saat terjadi krisis finansial melanda Indonesia pada 1998 dan 2008.
Berdasarkan Laporan Perekonomian Indonesia pada 1998/1999, krisis ekonomi yang berlanjut dalam tahun laporan yang disertai gejolak sosial politik pada bulan Mei 1998 mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional menjadi rendah.
Kondisi ini memicu penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan secara besar-besaran (bank run). Tekanan bank run yang begitu kuat telah berdampak pada kesulitan likuiditas di beberapa bank, bahkan berpotensi mengancam kehancuran sistemik per bankan nasional.
"Guna membantu kesulitan likuiditas bank-bank dan menghindari kegagalan sistemik, Bank Indonesia sebagai lender of the last resort memberikan bantuan likuiditas [BLBI]," tulis laporan tersebut seperti dikutip Bisnis, Selasa (14/4/2020).
Total dana yang digelontorkan untuk BLBI sepanjang krisis periode 1998 mencapai Rp147,7 triliun yang diberikan kepada 48 bank. Kasus pemberian BLBI diseret ke meja hijau setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kerugian negara sebesar Rp138,7 triliun.
Berbeda dengan awal orde Reformasi, BI kembali menggelontorkan QE saat terjadi krisis keuangan global yang merembet ke Indonesia pada 2008 silam.
28 Oktober 2008, pemerintah dan BI mengeluarkan 10 langkah Stabilisasi Ekonomi untuk meminimalisasi dampak gejolak pasar keuangan global. Beberapa kebijakan yang diterapkan, a.l. penurunan rasio GWM valas untuk bank umum dan konvensional dan syariah dari 3% jadi 1%, penyediaan pasokan valas bagi perusahaan domestik perbankan, pembelian wesel Ekspor Berjangka oleh BI, pembelian valas di atas US$100.000 per bulan per nasabah hanya dapat dilakukan dengan underlying, dan larangan transaksi structured product.
Pemerintah dan BI melakukan pembelian SUN di pasar sekunder dengan total Rp2,4 triliun. Pemerintah juga melakukan dua kali buy back dan berhasil menyerap Rp368 miliar.
Puncaknya, pemerintah menyuntikkan dana talangan Rp6,7 triliun kepada Bank Century lantaran dicap sebagai bank gagal yang bisa menimbulkan dampak sistemik.
Dana talangan tersebut di antaranya melalui Bank Indonesia, seperti tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.
Bank yang dapat mengajukan permohonan atau perpanjangan FPJP adalah Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dan memiliki agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang memadai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel