Arab Saudi Pangkas Harga Minyak ke Asia, Perang Pasokan Belum Berakhir

Bisnis.com,15 Apr 2020, 08:15 WIB
Penulis: M. Nurhadi Pratomo
Tangki minyak Aramco terlihat di fasilitas produksi di ladang minyak Saudi Aramco di Shaybah, Arab Saudi, Selasa (22/5/2018)./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Arab Saudi mungkin baru saja menandatangani kesepakatan produksi minyak paling bersejarah. Namun, tantangan membentang bagi negara itu dalam menghadapi persaingan yang ketat dalam memasok ke pasar Asia yang berharga.

Pada perdagangan Rabu (15/4/2020) pukul 8.00 WIB, harga minyak WTI kontrak Mei 2020 naik 2,73 persen atau 0,55 poin menjadi US$20,66 per barel. Adapun, minyak Brent kontrak Juni 2020 meningkat 1,39 persen atau 0,41 poin menuju US$30,01 per barel

Bloomberg melaporkan Arab Saudi memangkas harga jual resminya periode Mei 2020 untuk pelanggan di Asia. Delapan dari sebelas penyuling atau refiner di seluruh wilayah yang disurvei menyambut strategi pemasaran agresif Saudi Aramco.

“Diskon minyak Arab Saudi ke Asia paling tajam setidaknya dalam 20 tahun terakhir,” tulis Bloomberg, dilansir, Rabu (15/4/2020).

Kendati perang harga telah dijinakkan akhir pekan lalu belum ada alasan melubernya pasokan minyak mentah murah di Asia akan surut dengan cepat. Pasalnya, COVID-19 membuat permintaan menjadi tertekan.

Blooomberg menyebut Aramco memangkas harga jual kepada konsumen di Asia US$4,20 per barel dibandingkan dengan bulan lalu. Penurunan harga itu melebihi prediksi US$3,63.

Sementara itu, sekitar 20 juta barel minyak mentah pemuatan periode April 2020 masih belum terjual dari wilayah Afrika Barat menurut para pedagang yang enggan disebutkan identitasnya. Jumlah itu di atas persediaan Mei 2020 yang tidak terjual.

Selain kelebihan pasokan, Aramco dan produsen minyak lainnya sedang berjibaku dengan permintaan yang terus menyusut. Salah satunya permintaan dari India yang sudah menerapkan lockdown terbesar di dunia.

“Irak mengatakan awal pekan ini memiliki masalah dalam memasarkan minyak di tengah melimpahnya pasokan. Menteri terkait di negara itu menyebut kondisi ini sebagai ‘resesi’ dalam bisnis pemurnian di seluruh dunia,” tulis Bloomberg.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hafiyyan
Terkini