Kualitas Kredit Tertekan, Bank BRI Poyeksi Margin Bunga Bersih Jadi 7%

Bisnis.com,16 Apr 2020, 18:48 WIB
Penulis: Ni Putu Eka Wiratmini
Nasabah bertransaksi melalui mesin ATM di galeri e-banking Bank BRI, di Jakarta, Selasa (12/9)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. mengatakan margin bunga bersih akan tertekan pada tahun ini lantaran adanya perubahan kualitas kredit.

Adapun berdasarkan Financial Update Presentation 2019, margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) Bank BRI terhitung cukup tinggi yakni pada 2019 dengan perolehan sebesar 6,98% atau cukup tinggi dari rata-rata industri yang sebesar 4,9%.

NIM Bank BRI memang tercatat menurun jika dibandingkan empat tahun belakangan. Pada 2015, BRI memperoleh NIM sebesar 7,64%, tiga tahun berikutnya berturut-turut menjadi 7,87%,  7,73%, dan 7,22%. Pada tahun ini, target NIM BRI adalah sebesar kurang lebih 7%.

Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo mengatakan, selain perubahan kualitas kredit, kebijakan restrukturisasi juga akan mempengaruhi capaian NIM pada tahun ini. Hanya saja, perseroan masih akan menghitung dampak-dampak tersebut terhadap perolehan NIM tahu ini.

Hanya saja, saat ini ada sejumlah faktor yang bisa menjadi penopang NIM yakni penurunan giro wajib minimum hingga penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI 7-day Reverse Repo Rate).

Di tengah kondisi saat ini pasti akan ada tekanan pada NIM sejalan dengan adanya tekanan pada kualitas kredit dan meningkatnya upaya restrukturisasi kredit untuk menjaga kualitas kredit.

“Penopang NIM antara lain penurunan GWM, penurunan cost of fund sejalan dengan penurunan BI7DRR dan peningkatan komposisi kredit mikro,” katanya kepada Bisnis, Kamis (16/4/2020).

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan di tengah pandemi Covid-19, bank tentunya tidak akan mengejar marjin. Justru, yang menjadi hal utama yang dikejar bank saat ini adalah penyaluran kredit yang lancar sehingga restrukturisasi menjadi kebijakan yang dilakukan. Menurutnya, dengan hal tersebut, bank tentu dituntut lebih meningkatkan efisiensi dan menurunkan NIM. Apalagi, NIM yang besar berarti beban yang ditanggung nasabah akan semakin besar.

Selain itu, NIM yang besar penyaluran kredit dinilai akan lebih kecil dari potensinya dan investasi bank menjadi tidak maksimal.

Pada akhirnya, ini akan membuat bank cenderung tidak efisien. Kondisi ini dinilai kemungkinan berlanjut apabila sistem perbankan yang mengejar NIM tinggi tetap dilakukan saat pandemi berakhir.

“Apabila sistem perbankan kita masih tidak berubah, segmentasi masih seperti dulu, persaingan tidak terjadi, bank besar akan memanfaatkannya mencari keuntungan dengan maksimal,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini