Konsumsi Listrik Menurun, Pengembangan Proyek EBT Terganjal

Bisnis.com,21 Apr 2020, 18:47 WIB
Penulis: Yanita Petriella
Suasana PLTP Lahendong Unit 5 dan 6 di Tompaso, Kabupaten Minahasa, Jumat (13/3/2020). PGE menargetkan pengeboran sumur semi eksplorasi untuk pembangunan PLTP Unit 7 dan Unit 8 akan dimulai pada Semester II/2020. Bisnis/Lukas Hendra.

Bisnis.com, JAKARTA - Menurunnya sejumlah pembangkit listrik PLN secara tidak langsung turut berpengaruh pada pengembangan proyek pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia.

Direktur Konservasi Energi Ditjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Hariyanto menurunnya konsumsi listrik berpengaruh pada penurunan pembelian listrik dari PLN.

"Info dari PLN untuk sistem Jawa-Madura-Bali turun 9,5 persen permintaan listrik dari periode tahun lalu," ujarnya, Selasa (21/4/2020).

Lalu, konsumsi solar diperkirakan menurun sekitar 30 persen dari bulan Maret sampai Juli sehingga sepanjang tahun ini diperkirakan turun 18 persen.

"Ini semua berdampak pada pengembangan dan pemanfaatan EBT di Indonesia," katanya.

Harga minyak dunia yang cukup rendah menambah tantangan tersendiri energi terbarukan. Berdasarkan hitungan, apabila harga Mean of Platts Singapore (MOPS) mogas dan High Speed Diesel (HSD) US$22 per barel, maka biaya pokok listrik Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi 3 cent per kwh dengan kurs Rp15.772 per dolar.

Hariyanto menuturkan Kementerien ESDM telah mengindentifikasi dampak Covid-19 pada subsektor EBT yakni pertama terkait subsidi / pajak dimana terjadi penurunan demand dari penggunaan B30 yang secara langsung akan mengurangi penggunaan biodiesel.

Sepanjang tahun lalu, konsumsi biodiesel mencapai 6,37 juta KL meningkat dari 2018 yang mencapai 3,55 juta KL. Adapun pada kuartal I tahun ini, realisasi penyaluran biodiesel mencapai 2,17 juta kL atau sebesar 90,47 persen dari purchase order yang sebesar 2,4 juta kL

Selain itu, adanya penurunan harga crude oil atau BBM yang signifikan sedangkan penurunan harga CPO belum sebanding dengan penurunan harga crude oil atau BBM.

Hal ini tentu berdampak pada berkurangnya pendapatan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari pungutan ekspor.
Dari sisi ketenagakerjaan, PHK atau layoff dimana Covid 19 berdampak pada terhambatnya proyek dalam konstruksi atau pengadaan.

Lalu terjadinya rasionalisasi tenaga kerja pada seluruh value chain industri EBT pabrikan kontraktor lembaga pendanaan dan sebagainya.
"Lay off 100 persen, lay off sebagain atau tak ada lay off merumahkan sebagian dan tanpa gaji atau tetap memperkerjakan," ucapnya.

Ketiga, Covid-19 berdampak pada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dimana potensi keterlambatan melewati jatuh tempo tanggam 15 setiap bulannya atas pembayaran PNBP iuran produksi karena potensi mundurnya.

"Berita acara antsra PLN dan pengembangan panas bumi dimana berita acara itu merupakan dasar besaran produksi [kWh transaksi] dan harga jual untuk perhitungan PNBP," tuturnya.

Keempat, investasi juga terdampak karena Covid-19 dimana proyek pembangkit listrik tenaga EBT menjadi terhambat karena kenaikan biaya konstruksi, adanya keterlambatan proyek yang menyebabkan overhead cost dan tingginya bunga.

"Turunnya demand listrik. Pembatasan personil dan logistik termasuk saat pertukaran petugas operasi pengantaran material, pekerjaan pemeliharaan yang membutuhkan tenaga ahli dari luar negeri produsen mesin untuk PLTA, PLTS dan PLTB menyebabkan terganggunya produksi listrik, terhambatnya proses konstruksi dan mundurnya waktu COD [Commercial On Date]," terang Hariyanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: David Eka Issetiabudi
Terkini