Bisnis.com, JAKARTA – Penerapan kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit nasabah yang terdampak Covid-19 ternyata tak semulus ekspektasi. Pada praktik di lapangan, kebijakan relaksasi ini menimbulkan pro dan kontra, baik dari pelaku usaha maupun dari lembaga perbankan.
Ketua Umum Asosisasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun, misalnya, mengeluhkan bahwa pengajuan restrukturisasi kredit ke lembaga jasa keuangan swasta, baik bank maupun nonbank, masih sulit.
Kondisinya sedikit berbeda dengan di lembaga-lembaga jasa keuangan milik negara. Menurutnya, pemberitaan soal angka-angka persetujuan restrukturisasi kredit hanya berlaku bagi bank-bank milik negara. Selebihnya, pelaku UMKM yang sudah terlanjur meminjam di bank swasta harus kecewa dengan administrasi yang berbelit-belit dan potensi pengajuan restrukturisasi yang ditolak.
“Kalau industri keuangan di luar pemerintah baik di bank dan nonbank suka mereka-mereka saja. UMKM diterima tetapi dipersulit karena aturan ini tidak jelas, jadi dengan seenaknya ditolak,” tuturnya saat berbincang lewat sambungan telepon, Selasa (21/4/2020).
Ikhsan menyayangkan betapa sulitnya mengajukan restrukturisasi kredit ke lembaga jasa keuangan swasta, bank maupun nonbank. Dia menyebutkan, berbagai alasan pernah dia terima dari lembaga jasa keuangan swasta sewaktu mengajukan restrukturisasi kredit.
“Misalnya, dibilang ini tidak bisa di cabang, harus di pusat. Sudah bawa (pengajuan) ke pusat, akhirnya surat pengajuan restrukturisasi kita ditolak. Itu saya alami sendiri,” kata pria yang memiliki usaha kuliner tersebut.
Keluhan soal implementasi relaksasi restrukturisasi kredit tak hanya datang dari kalangan debitur tapi juga dari bank swasta, khususnya yang bermodal terbatas.
Komisaris Utama BPR Lestari Bali Alex P Candra mengatakan kebijakan restrukturisasi kredit merupakan bentuk pelimpahan tanggung jawab pemerintah kepada bank. Kebijakan ini dinilai membuat bank harus memberikan keringanan tanpa ada dukungan dari pemerintah.
Menurutnya, pemerintah seharusnya memberikan stimulus untuk perbankan yang nantinya dapat disalurkan ke debitur. Stimulus tersebut dapat berupa pinjaman ke bank. Besaran pinjaman tersebut senilai dengan relaksasi yang diberikan bank ke debitur.
“Pemerintah berikan stimulus ke perbankan nanti di pass on ke debitur, bentuknya pinjaman, untuk menutupi kewajiban debitur. Katakan selama 12 bulan, nah perbankan kasih ke debiturnya relaksasi bunga 0%, BI kasih pinjaman senilai yang sama 0% juga ke banknya,” katanya kepada Bisnis, Senin (21/4/2020).
Meskipun Alex menilai kebijakan restrukturisasi tersebut tidak adil bagi bank, tetapi hingga saat ini BPR Lestari diakuinya tetap menjalankan program tersebut. Hanya saja dia enggan memerinci jumlah debitur yang telah direstrukturisasi kreditnya.
Menurutnya, agar kebijakan resrukturisasi ini adil, pemerintah melalui Bank Indonesia harus memberikan dukungan kepada bank. Selain itu, Bank Indonesia juga diminta harus benar-benar menjadi lender of the last resort agar likuiditas perbankan terjaga. Dia menambahkan, jika satu bank tersandung masalah likuiditas, maka bank-bank lain akan dapat ikut terseret.
“Jadi jangan memindahkan masalah dari debitur ke perbankan. Kalau satu bank jatuh hanya karena masalah likuiditas, bank lain ikut terseret,” papar Alex..
Keuntungan
Sebaliknya, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Djoko Suyanto mengatakan kebijakan restrukturisasi justru memberikan sejumlah keuntungan bagi bank. Antara lain, yakni dari penilaian kualitas kredit yang terhitung lancar dan bank menjadi lebih efisien karena tidak perlu meningkatkan biaya pencadangan.
“Dengan restrukturisasi posisi kesehatan BPR dipertahankan tetap menjadi baik,” katanya.
Soal posisi likuditas, dia menilai hingga saat ini BPR masih terhitung aman. Djoko memerinci hingga Januari 2020, loan to deposit ratio (LDR) BPR tercatat sebesar 76,21 persen, penempatan tabungan di BPR tumbuh 7,96 persen dibandingkan periode sama tahun lalu (year-on-year/yoy), dan deposito yang tumbuh 13,15 persen (yoy).
Djoko juga menyebutkan tren penarikan tabungan di BPR hingga saat ini juga masih terhitung normal. Penempatan tabungan dan deposito juga masih bertmbuh hingga saat ini, meskipun angka pasti pertumbuhan belum bisa dia beberkan. Menurutnya, likuiditas BPR tidak hanya berasal dari angsuran semata, tetapi juga dana pihak ketiga (DPK). Dengan DPK yang masih bertumbuh, kebijakan resrukturisasi dinilai tidak akan mempengaruhi kondisi likuiditas BPR.
“Saya bicara angka aktual, BPR aman terkendali sampai hari ini. DPK menjadi alat likuid yang menjaga likuiditas BPR dengan baik,” imbuhnya.
Kebijakan pemerintah di sektor lembaga jasa keuangan, kata Djoko, sudah cukup memuaskan. Lewat Perppu Nomor 1/2020, lembaga jasa keuangan mendapat sejumlah alternatif untuk menjaga likuditas BPR yakni berupa pinjaman jangka pendek dari Bank Indonesia. BPR juga dapat bekerja sama dengan bank umum lewat dalam bentuk standby loan maupun kerja sama antarBPR dalam penempatan dana antarbank.
“Perbarindo sudah diskusi dengan bank umum untuk upayakan ada pinjaman yang disiapkan untuk menjaga likuiditas. Itu juga langkah-langkah jadi berbagai strategi yang kita lakukan dalam kerangka melihat ke depan risk management yang kemungkinan terjadi,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi yang juga dosen di Perbanas Institute Piter Abdullah mengatakan bank tidak dipaksa untuk melakukan restrukturisasi. Jika kebijakan tersebut dinilai tidak memiliki kepentingan bagi bank, opsi menolak penerapan restrukturisasi bisa dilakukan.
Menurut Piter, jika bank tidak melakukan restrukturisasi, konsekuensi peningkatan biaya pencadangan akan meningkat. Hal ini berarti bank harus rela kehilangan likuiditas karena peningkatan biaya pencadangan tersebut.
Sebaliknya, kebijakan restrukturisasi dinilai justru menguntungkan bank. Meskipun kebijakan restrukturisasi akan menurunkan cashflow bank, tetapi bank terhindar dari kredit macet.
“Pengusaha tetap mampu bayar cicilan, kredit tetap lancar, dengan demikian bank tidak perlu menyiapkan cadangan,” katanya.
Soal bentuk stimulus berupa pinjaman yang diberikan pemerintah ke bank sebagai kompensasi atas restrukturisasi kredit, dinilai tidak memiliki kaitan. Perppu 1/2020 sudah cukup memberikan stimulus bagi industri perbankan.
“Kalau bank memang tidak ingin melakukan restrukturisasi karena merasa dirugikan, jangan lakukan restrukturisasi sederhana saja,” katanya.
Sementara itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, demi menjaga kesehatan ekonomi, perbankan diharapkan dapat mengimplemetasikan kebijakan restrukturisasi dengan prudent.
Dari sisi perbankan, penerapan kebijakan restrukturisasi memang akan menurunkan profitabilitas perbankan dan selanjutnya berdampak pada likuiditas bank. Akan tetapi, adanya kebijakan ini membuat pelebaran kredit bermasalah perbankan akan dapat dibatasi lewat restrukturisasi.
Apalagi, restrukturisasi juga sudah mendapat dukungan dari sisi Bank Indonesia, yang akan menambah likuiditas perbankan sebesar Rp117 triliun lewat pelonggaran giro wajib minimum (GWM) dan pelonggaran aturan terkait Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Selain itu OJK juga dinilai telah memberikan kelonggaran-kelonggaran dan relaksasi bagi perbankan untuk membantu operasional dari sektor perbankan.
“Dengan bantuan likuiditas secara tidak langsung tersebut, restrukturisasi seharusnya dapat dijalankan oleh banyak perbankan, apalagi ke depannya, baik BI maupun OJK diperkirakan masih memiliki amunisi kebijakan untuk melonggarkan likuiditas untuk perbankan,” tutur Josua.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel