Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk. (Bank Banten) akhirnya bakal merger dengan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (Bank BJB).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Kamis (23/4/2020) telah mengumumkan akan segera memproses permohonan rencana penggabungan tersebut setelah gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten selaku pemegang saham pengendali terakhir masing-masing bank menandantangani letter of intent (LoI).
Dalam kerangka LOI tersebut Bank Banten dan Bank BJB melaksanakan kerja sama bisnis, termasuk dukungan Bank BJB terkait kebutuhan likuiditas Bank Banten, antara lain dengan menempatkan dana line money market dan/atau pembelian aset yang memenuhi persyaratan tertentu, secara bertahap.
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan penggabungan tersebut kemungkinan merupakan tindak lanjut atas kewenangan OJK untuk memerintah lembaga jasa keuangan untuk melakukan konsolidasi. Hal tersebut sudah diatur dalam Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan COVID-19.
Menurutnya, bagi Bank Banten, konsolidasi ini akan menguntungkan, sebab akan menolong bisnisnya yang selama ini sudah tertekan. Namun, bagi Bank BJB aksi ini kemungkinan tidak terlalu menguntungkan.
Langkah ini diambil kemungkinan untuk mengantisipasi potensi tekanan bisnis yang lebih besar bagi Bank Banten, terutama di tengah pandemi Covid-19. Sementara itu, bagi Bank BJB, langkah ini diyakini tidak akan terlalu menekan kinerjanya, meski mungkin kurang mengutungkan.
“Semua bank sekarang mengalami tekanan. Salah satu alasan OJK mungkin untuk memperkuat bank itu sendiri. Kelihatannya sih mungkin bank itu dianggap bakal ada masalah. Sekarang mungkin belum, tetapi ke depan kemungkinan bakal ada, sehingga disuruh merger,” katanya, Kamis (23/4/2020).
Hans meyakini kinerja Bank BJB akan tetap solid pascaaksi korporasi ini. Menurutnya, sejauh ini kinerja saham Bank BJB masih cukup baik.
Saham emiten dengan kode BJBR itu turun 20,25 persen sepanjang tahun ini, lebih rendah dibandingkan koreksi IHSG yang mencapai 27,08 persen year-to-date.
“Harga BJB masih bagus, tidak terlalu murah, tetapi selama ini masih cukup bagus,” katanya.
Sementara itu, saham Bank Banten dengan kode BEKS sejak 2017 sudah bertengger di level Rp50. Harganya tidak berubah sepanjang tahun ini.
Deputi Komisioner Humas Dan Logistik OJK Anto Prabowo menyampaikan dalam proses pelaksanaan penggabungan usaha, Bank BJB akan melakukan due diligence dan OJK meminta Bank BJB dan Bank Banten segera melaksanakan tahap-tahap penggabungan usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
OJK menegaskan selama proses penggabungan usaha, maka Bank Banten dan Bank BJB tetap beroperasi secara normal melayani kebutuhan yang wajar dari nasabah dan layanan keuangan masyarakat.
Adapun, kemampuan Bank Banten dalam mencetak untung dipertanyakan. Pasalnya, sejak bertransformasi dari Bank Pundi pada 2016, bank ini belum pernah mencatatkan laba.
Berdasarkan laporan keuangan pada 2019, Bank Banten masih mencatatkan rugi bersih senilai Rp180,70 miliar. Sementara pada 2018, perseroan membukukan rugi bersih senilai Rp131,07 miliar.
Bisnis mencatat sekitar dua tahun sebelum Pemprov Banten melakukan akuisisi, bank dengan ticker BEKS ini secara berturut-turut juga telah membukukan kerugian.
Setelah resmi berpindah tangan kepada Pemprov Banten dari PT Recapital Advisors, perusahaan yang didirikan oleh Sandiaga Uno, kerugian bank pun semakin dalam. Pada Desember 2016, bank membukukan rugi bersih senilai Rp405,1 miliar.
Pada 2019, modal inti perseroan pun terkikis dari Rp334,07 pada 2018 miliar menjadi Rp154,13 miliar pada 2019. Kemampuan modal (CAR) Bank Banten pun tercatat mengalami penurunan ke level 9,01 persen.
Sejalan dengan kemampuan modal yang kian menurun, ekspansi kredit perseroan pada 2019 juga mengalami tekanan. Kredit yang tersalurkan tercatat senilai Rp5,33 triliun atau turun -3,22 persen secara tahunan.
Kredit bermasalah bank yang masuk kelompok BUKU I ini juga tercatat tinggi, dengan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di level 5,01 persen.
Angka NPL tersebut sudah menurun jauh jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2010, porsi kredit bermasalah tercatat setengah dari total kredit yang disalurkan perseroan, dengan rasio NPL sebesar 50,96 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel