Bisnis.com, JAKARTA - Industri pembiayaan berpotensi menanggung kerugian Rp24,2 triliun dalam tiga bulan ke depan akibat penundaan pembayaran cicilan dan larangan eksekusi kendaraan jaminan.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menjelaskan bahwa kebijakan penundaan pembayaran cicilan dan larangan eksekusi itu berpotensi menimbulkan kerugian bagi industri pembiayaan. Hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya pendapatan perusahaan pembiayaan dalam kondisi sulit saat ini akibat pandemi virus corona.
Suwandi menjabarkan bahwa bahwa berdasarkan perhitungan APPI, dari total piutang pembiayaan per Februari 2020 senilai Rp452,2 triliun, 70 persen di antaranya atau sekitar Rp316,4 triliun merupakan pembiayaan kendaraan bermotor.
Setiap bulannya, industri pembiayaan melakukan eksekusi sekitar 10 persen dari portofolio pembiayaan kendaraan bermotor tersebut, atau berkisar Rp31,6 triliun. Menurut Suwandi, dalam proses eksekusi biasanya terdapat recovery hingga 60 persen, sehingga potensi kerugian dari eksekusi tersebut dapat mencapai Rp18,9 triliun.
Suwandi pun menjelaskan bahwa dari total portofolio pembiayaan kendaraan bermotor, 30 persen di antaranya atau Rp94,9 triliun merupakan pembiayaan kendaraan roda dua dan 70 persen atau Rp221,4 triliun merupakan pembiayaan kendaraan roda empat.
Berdasarkan perhitungan APPI, pembebasan bunga selama tiga bulan bagi debitur motor berpotensi mengurangi pendapatan industri hingga Rp2,27 triliun. Adapun, relaksasi bagi debitur mobil dapat mencapai Rp2,99 triliun, sehingga pembebasan bunga kendaraan bermotor dapat menimbulkan total kerugian Rp5,2 triliun.
"Apabila kami harus melakukan penundaan cicilan atau pembebasan bunga selama tiga bulan untuk motor dan mobil, total beban bunganya Rp5,2 triliun. Sehingga, total expected loss jika ini terjadi dan harus menjadi beban perusahaan pembiayaan kurang lebih Rp24,2 triliun," ujar Suwandi pada Selasa (28/4/2020).
Suwandi menjelaskan bahwa terkait kebijakan restrukturisasi, perusahaan pembiayaan pun perlu menjaga likuiditasnya karena peran intermediasi, yakni menyalurkan dana dari perbankan kepada debitur. Dia mengibaratkan bahwa perusahaan pembiayaan merupakan kreditur bagi masyarakat, tetapi juga merupakan debitur bagi perbankan yang menjadi sumber dana.
Dia menjelaskan bahwa kebijakan restrukturisasi yang ada saat ini harus tetap dapat membantu masyarakat sebagai debitur maupun kelangsungan arus kas perusahaan pembiayaan itu sendiri. Menurut Suwandi, isu arus kas menjadi perhatian utama perusahaan pembiayaan dalam melihat jalannya bisnis ke depan selama masa pandemi Covid-19.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel