Risiko Kredit Obligor Asia Meningkat

Bisnis.com,28 Apr 2020, 12:59 WIB
Penulis: Pandu Gumilar
Moody's Investor Service

Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga pemeringkat Moody’s Investor Service melansir indikator stabilitas likuiditas Asia (Asian Liquidity Stress Indicator) naik ke posisi kedua di level paling lemah. Hal ini menandakan risiko gagal bayar dari obligor di Asia meningkat.

Moody’s menyebut, jumlah perusahaan berperingkat B3 dan di bawahnya terus meningkat pada kuartal I/2020. Moody’s menilai risiko kredit dan gagal bayar akan lebih meningkat dalam beberapa bulan mendatang.

Virus corona (Covid-19) disebut telah menambah tekanan terhadap pendapatan perusahaan dan profil likuiditas obligor. Selama kuartal I/2020, Moody’s telah 19 kali menurunkan peringkat dan tujuh lainnya hingga 17 April 2020. 

“Sebagian besar peringkat yang diturunkan berasal dari industri dengan eksposur tinggi atau moderat terhadap gangguan virus corona seperti otomotif, komoditas, properti, ritel, dan REIT,” ujar Annalisa Di Chiara, Wakil Presiden Senior Moody melalui keterangan resmi, Selasa (28/4/2020).

Secara umum, indikator stabilitas likuiditas atau ALSI  naik menjadi 38,7 persen pada Maret 2020 dari posisi Februari 2020 sebesar  32,9 persen.

Annalisa mengatakan  ALSI hampir mendekati level tertinggi sepanjang masa 38,9 persen dengan 58 dari 150 perusahaan dengan peringkat tinggi Moody dinilai memiliki likuiditas yang lemah. Pandemi telah membuat terganggunya pemasukan, meningkatnya risiko refinancing dan akses pasar terbatas untuk emiten berperingkat B3 dan di bawahnya.

Dia menambahkan obligor dengan peringkat B3 bertambah menjadi 22 dari 19 pada bulan Desember dengan jumlah perusahaan yang dinilai Caa berjumlah 15.

“Likuiditas dan akses ke pasar modal telah menjadi masalah utama bagi banyak perusahaan, tanpa peringkat emisi hasil tinggi sejauh ini pada April setelah rekor US$15,9 miliar yang dikeluarkan pada kuartal I/2020. Penerbitan itu sebagian besar terkonsentrasi pada Januari dari pengembang properti Cina,” katanya.

Perusahaan properti yang berbasis di Cina, lanjutnya, menyumbang 75 persen dari US$178 miliar obligasi hasil tinggi yang akan jatuh tempo pada 2021. Jumlah itu sudah termasuk obligasi yang di peringkat dan yang tidak di peringkat.

“Perusahaan dengan yield tinggi atau memiliki likuiditas onshore yang besar paling baik ditempatkan, sementara perusahaan dengan posisi lemah akan menghadapi pengetatan likuiditas, akses pasar terbatas dan risiko pembiayaan kembali yang lebih tinggi selama 12 -18 bulan ke depan, berpotensi mendorong standar lebih tinggi,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Rivki Maulana
Terkini