Bisnis.com, JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) memaparkan perbedaan kebijakan pencetakan uang dan penggelontoran likuiditas (quantitative easing) yang dilakukan bank sentral.
Menurut Perry, skema pencetakan uang itu seperti zaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dahulu, di mana BI mengedarkan uang, dan gantinya bank diberikan surat utang pemerintah. Namun, skema ini tidak efektif.
Surat utang pemerintah tidak dapat diperdagangkan 'tradeable' karena suku bunganya mendekati nol. "Jika kelebihan likuiditas, BI tidak mampu menyerap lagi seperti BLBI dulu," ungkap Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI, Kamis (30/4/2020).
Kondisi ini terasa ketika inflasi naik karena surat utang tersebut tidak bisa digunakan. Kondisi ini terjadi pada 1998 dan 1999 ketika inflasi naik hingga 6 - 7 persen.
"Itu yang disebut pencetakan uang beda dengan yang kita lakukan sekarang [quantitative easing]. Ini adalah operasi moneter dalam mengelola likuiditas di perbankan supaya cukup," papar Perry.
Penambahan likuiditas yang nilainya hampir mencapai Rp503,4 triliun kami lakukan dengan quantitative easing melalui pelonggaran giro wajib minimum (GWM) dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM).
Dalam operasi moneter di era Covid-19 saat ini, Perry menegaskan pihaknya dan Kementerian Keuangan menjaga agar yield atau imbal hasil SBN - yang diserap bank sentral - tidak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter dan harus tradeable.
"Sekarang harus digelontorkan, tapi kalau tahun depan sudah kebanyakan, kami harus menyerap. Ini kaidah-kaidah dalam kebijakan moneter yang prudent."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel