Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan restrukturisasi kredit terus berjalan, tetapi sejumlah pihak mengeluhkan proses yang lama hingga progres yang tidak begitu optimal.
Dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI bersama Menteri Keuangan pada Kamis (30/4/2020) lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan ada sebanyak 561.950 debitur restrukturisasi dengan nilai outstanding kredit Rp113,8 triliun. Sementara itu, apabila dirinci, khusus untuk debitur UMKM, ada sebanyak 522.728 debitur dengan nilai Rp60,9 triliun.
Kebijakan restrukturisasi pun telah diatur dalam POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Regulasi tersebut mencakup dua ketentuan.
OJK juga mengeluarkan surat edaran mengenai pedoman penerapan PSAK 71 atau perhitungan biaya pencadangan. Lewat surat edaran tersebut, bank diminta menggolongkan debitur yang mendapatkan skema restrukturisasi dalam stage 1 dan tidak diperlukan tambahan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atau dilonggarkan dari penerapan PSAK 71 sebelumnya.
Pengamat Ekonomi dari Perbanas Institute Piter Abdullah mengatakan pelonggaran PSAK 71 memang akan menghemat likuiditas perbankan. Hanya saja, itu tidak serta merta akan langsung meningkatkan jumlah debitur yang mendapatkan restrukturisasi kredit.
Menurutnya, restrukturisasi dibutuhkan oleh bank, sehingga tidak perlu didorong untuk melakukan kebijakan tersebut. Meskipun otoritas memberikan stimulus, misalnya berupa pelonggaran likuiditas maupun memberikan pinjaman kepada bank, hal itu bukan utk mendorong restrukturisasi.
Pasalnya, kondisi bank berbeda-beda dan mempengaruhi proses restrukturisasi. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas dihadapkan dilema antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini kemudian membatasi bank dalam melakukan restrukturisasi.
"Berbeda dengan bank besar yang memiliki cukup likuiditas. Proses restrukturisasi diyakini berjalan lebih lancar," katanya kepada Bisnis, Minggu (3/5/2020) malam.
Direktur Pemasaran BPD DIY Raden Agus Trimurjanto juga menilai pelonggaran PSAK 71 tidak serta merta akan langsung mendorong bank melakukan kebijakan restrukturisasi. Pasalnya, kondisi likuiditas menjadi hal utama yang diperhitungkan bank dalam melakukan restrukturisasi.
Menurutnya, pelonggaran PSAK 71, memang akan memudahkan bank untuk menata kinerja. Namun, masing-masing bank harus menjaga mempersiapkan dan menata agar saat berakhirnya restrukturisasi bisa berjalan normal atau kembali lancar seperti semula.
Bank juga harus memastikan debitur mampu memenuhi semua kewajiban yang diperjanjikan setelah dilakukan restrukturisasi.
"Kalau semua nasabah diberikan grace period atau menunda pembayaran maka tidak ada cash inflow dan akan menganggu likuiditas, makanya untuk restrukturisasi sangat selektif untuk pemberian grace period-nya," katanya.
Sementara itu, Presiden Direktur Maybank Indonesia Taswin Zakaria mengatakan aturan PSAK 71 yang mengatur mengenai biaya pencadangan memang perlu ditunda untuk memberikan waktu kepada debitur yang usahanya terdampak pandemi.
"Restrukturisasi bisa dilakukan setiap saat kondisi usaha debitur tidak lagi berjalan normal," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel