Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan dinilai tidak akan semata-mata menyelesaikan defisit dari badan tersebut. Pemerintah perlu menyelesaikan masalah dengan melihat dari dua sisi, pendapatan dan beban.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan bahwa terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan memiliki dasar untuk menyesuaikan besaran iuran sehingga pendapatan BPJS Kesehatan dapat meningkat.
Dia menilai bahwa terbitnya beleid itu tidak akan semata-mata meningkatkan pendapatan BPJS Kesehatan, meskipun besaran iuran meningkat. Lebih jauh lagi, Perpres tersebut belum bisa menjawab persoalan defisit yang belum kunjung tuntas.
Timboel menilai bahwa pemerintah perlu melihat dari dua sisi terkait persoalan BPJS Kesehatan yakni pendapatan dan beban. Aspek pertama pun perlu diperhatikan dengan mempertimbangkan kondisi terkini.
Menurutnya, penyesuaian iuran melalui Perpres 64/2020 belum tentu akan meningkatkan pendapatan iuran karena daya beli masyarakat sedang tertekan akibat pandemi Covid-19. Kondisi itu pun bisa membuat peserta mandiri di Kelas I dan Kelas II turun kelas, sehingga iuran yang diperoleh pun lebih sedikit.
"Lalu, bagaimana juga kalau orang yang Rp25.500 [peserta mandiri Kelas III] enggak bisa membayar iuran? Artinya peningkatan pendapatan dari penyesuaian iuran yang diharapkan tidak terjadi, utang iuran pun akan semakin besar," ujar Timboel kepada Bisnis, Rabu (13/5/2020).
Perpres 64/2020 mengatur bahwa peserta mandiri Kelas III akan mendapatkan bantuan iuran dari pemerintah pusat dan daerah. Per Juli 2020 peserta membayarkan iuran Rp25.500 dan mendapatkan bantuan Rp16.500, lalu mulai Januari 2021 peserta membayar Rp35.000 dengan bantuan Rp7.000.
Meskipun begitu, bantuan iuran hanya dibayarkan dengan memperhitungkan jumlah peserta yang aktif. Menurut Timboel, artinya peserta mandiri yang menunggak iuran tidak akan mendapatkan bantuan, pendapatan BPJS Kesehatan pun akan berkurang.
Aspek kedua yang harus diperhatikan pemerintah, menurut Timboel, adalah mengenai beban biaya kesehatan yang terus meningkat. Pada 2019, beban manfaat BPJS Kesehatan mencapai Rp108 triliun.
BPJS Watch mengasumsikan jika terdapat inflasi 10%, maka beban manfaat kesehatan pada tahun ini bisa mencapai Rp118 triliun. Dengan pendapatan iuran yang kurang optimal, dikhawatirkan beban tersebut tidak dapat diimbangi sehingga defisit pun belum bisa teratasi.
"Mau [iuran] naik berapapun, mau Rp1.000 triliun dibayarkan kepada BPJS Kesehatan pun kalau pelayanannya inefisiensi terus, terdapat fraud, rujukan terus terjadi, akan tetap defisit. Pemerintah mengegdor dari sisi iuran saja, tapi tidak memberikan grand design untuk mengefisienkan beban biaya ini," ujarnya.
Oleh karena itu, BPJS Watch menilai bahwa pemerintah harus melihat persoalan BPJS Kesehatan dari dua arah. Pemerintah dinilai tidak boleh berpandangan linier bahwa meningkatkan iuran bisa mengatasi defisit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel