Iuran BPJS Naik Lagi. Bagaimana dengan Kualitas Pelayanannya?

Bisnis.com,16 Mei 2020, 12:46 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Karyawan beraktivitas di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Jakarta, Rabu (13/5/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Bisnis.com, JAKARTA — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan menyatakan bahwa kualitas pelayanan dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga peningkatan iuran dan penanganan defisit tidak secara otomatis meningkatkan kualitas pelayanan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjelaskan bahwa penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan merupakan upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan menyeluruh terhadap BPJS Kesehatan.
Perpres tersebut memuat sejumlah poin utama, yang salah satunya adalah penyesuaian iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Menurut Fachmi, penyesuaian iuran itu bukan merupakan faktor tunggal yang akan mengerek kualitas layanan kesehatan.
Menurutnya, pembayaran klaim rumah sakit dan upah tenaga medis secara tepat waktu dan infrastruktur kesehatan turut menjadi faktor utama yang memengaruhi kualitas layanan kesehatan. Penyesuaian iuran merupakan langkah untuk memperbaiki arus kas sehingga dapat membantu perbaikan layanan.
"Kualitas layanan tidak tunggal hanya dari faktor iuran, tapi bagaimana juga iuran cukup menentukan kaitannya dengan pelayanan rumah sakit. Ada sisi lain [yang juga perlu diperhatikan]," ujar Fachmi pada Kamis (14/5/2020).
Dia menjelaskan bahwa per 13 Mei 2020, BPJS Kesehatan mencatatkan klaim jatuh tempo Rp4,4 triliun. Jumlah tersebut merupakan klaim yang belum dibayarkan setelah lebih dari 15 hari dokumen pengajuan klaim diterima pihak BPJS Kesehatan dan dapat dikenakan penalti.
Selain itu, BPJS Kesehatan pun mengantongi outstanding claim Rp6,2 triliun, klaim belum jatuh tempo Rp1,03 triliun, dan carry over defisit dari 2019 senilai Rp15,5 triliun. Fachmi optimistis bahwa jika Perpres 64/2020 dijalankan klaim-klaim itu akan teratasi dan hampir tidak ada defisit.
"Hampir bisa seimbang cash in dan cash out-nya. Kami sudah punya gambaran [pengaruh dari] pemberlakuan Pepres sejak Juli 2020, tetapi tentu banyak variabel lain yang perlu dipertimbangkan, seperti Covid-19," ujar Fachmi.
Menurut Fachmi, meskipun persoalan defisit belum teratasi dan terdapat penyesuaian iuran, tidak terdapat perubahan lanskap layanan yang diberikan kepada peserta. Jumlah tempat tidur yang tersedia tidak akan berubah, akan tetap sesuai dengan perhitungan yang ditetapkan pemerintah dan BPJS Kesehatan pada awal tahun ini.
Fachmi menambahkan, pihaknya akan berkomitmen untuk memastikan apa yang menjadi kontrak kerja sama antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit terus dijalankan dengan baik, kalaupun persoalan defisit belum bisa dituntaskan pada tahun ini.
Ketua Dewan Jaminan Sosial (DJSN) Tubagus Achmad Choesni menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan merupakan operator dari program JKN, sehingga perbaikan layanan kesehatan bukan merupakan tugas tunggal dari operator, melainkan perlu peran dari pemangku kepentingan lainnya.
Dia menjelaskan bahwa DJSN akan memastikan semua pihak bekerja sama untuk melakukan perbaikan sistemik terhadap BPJS Kesehatan, sesuai tujuan dari penerbitan Perpres 64/2020.
Salah satu perbaikan penting menurutnya proses pemadanan data (data cleansing) dari Data Terpadu Kementerian Sosial (DTKS). Data tersebut menjadi acuan bagi penetuan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan sesuai Perpres 64/2020 akan turut menjadi acuan bagi penentuan peserta mandiri yang berhak menerima bantuan iuran.
Choesni menjelaskan bahwa saat ini, perbaikan DTKS menghasilkan hampir 100 juta data penduduk kurang mampu, yang 96,8 juta di antaranya telah tercatat sebagai peserta PBI. Tidak padannya data tersebut kerap menjadi masalah karena menyebabkan ketidaksesuaian penerima bantuan dengan persyaratannya.
"Masih ada exclusion error, inclusion error, tapi yang terpenting perbaikan harus dilakukan secara sistematis. BPJS Kesehatan sebagai master file datanya harus bisa memberikan feedback dari data yang harus diperbaiki, ini pekerjaan keroyokan yang harus dilaksanakan secara sistemik dan berkesinambungan," ujar Choesni pada Kamis (14/5/2020).
Kementerian Keuangan memperkirakan BPJS Kesehatan akan mengalami defisit RP6,9 triliun dengan batalnya Pasal 34 Perpres 75/2019. Jika Perpres 64/2020 tidak dijalankan, defisit pun diperkirakan akan semakin melebar pada 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini