Likuiditas Jadi Tantangan Utama Bisnis Perbankan

Bisnis.com,17 Mei 2020, 17:10 WIB
Penulis: M. Richard
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI) Sunarso menjawab pertanyaan awak media sesuai rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) di Jakarta, Selasa (18/2/2020). Bisnis/Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA – Meski terus mendapat insentif dari pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, serta Bank Indonesia, likuditas perbankan masih dipandang dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan.

Terlebih, restruturisasi yang dilakukan sejauh ini masih belum dapat memastikan kredit mampu bertahan dengan kualitas baik dalam waktu yang lama.

Berdasarkan catatan Bisnis, otoritas pengawas memperkirakan angka restrukturisasi kredit usaha kecil, menengah dan mikro (UMKM) bisa mencapai Rp500 triliun hingga Rp600 triliun.

Di luar itu, masih ada potensi restrukturisasi kredit dari segmen korporasi dan konsumer yang belum masuk hitungan tersebut. Namun, Lembaga Pengembang Perbankan Indonesia (LPPI) sempat membuat prediksi total restrukturisasi kredit akibat pandemi virus corona akan mencapai Rp2.500 triliun tahun ini.

Adapun, guna membantu perbankan, OJK memberi relaksasi restrukturisasi kredit dengan perhitungan kolektabilitas satu pilar. Langkah ini akan membuat arus kas keluar perbankan dapat terjaga lantaran beban pencadangan yang masih bisa ditunda.

Pemerintah pun berupaya untuk dapat membuat arus kas masuk perbankan tetap terjaga dengan membuat skema bank jangkar.

Meski belum rampung, tetapi pemerintah akan menempatkan dana pada bank peserta agar bank pelaksana restrukturisasi dapat mencukupi kebutuhan likuiditasnya saat terjadi lonjakan yang menggerus arus kas masuk.

Bank Indonesia pun mengklaim melakukan penambahan likuiditas yang nilainya hampir mencapai Rp503,4 triliun melalui pelonggaran giro wajib minimum (GWM) dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM).

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan insentif yang diberikan ke perbankan tergolong cukup untuk saat ini. Terlebih, restrukturisasi yang besar tersebut juga tak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan likuidtas perbankan saat ini.

Namun, potensi pemburukan kualitas kredit saat ini membuat kecukupan likuiditas perbankan semakin dipertanyakan.

"Kita tidak tahu apakah kondisi arus kas dari setiap debitur yang direlaksasi tersebut masih dapat bertahan atau tidak. Yang jelas, jika kegiatan ekonomi masih tertutup, maka pelaku usaha yang juga debitur bank akan menanggung banyak beban yang semakin mendorong mereka untuk bangkrut, dan efeknya tentu ke likuiditas bank," katanya kepada Bisnis, Minggu (17/5/2020).

Piter menjelaskan, untuk menjaga likuiditas, perbankan telah berencana untuk melakukan selektifikasi, atau bahkan pengetatan dalam penyaluran kreditnya tahun ini.

Di samping itu, bank juga banyak yang berkomitmen untuk memangkas banyak beban operasional yang masih dapat ditunda tahun ini.

Hanya saja, tekanan yang datang dari kualitas kredit sektor riil sangat tinggi seiring dengan ketidakpastinya akan selesainya epidemi virus corona.

Selain itu, pelonggaran likuiditas yang dilakukan oleh otoritas moneter belum cukup guna mendukung kebijakan fiskal pemerintah yang lebih ekspansif.

"Dalam hal ini, sense of crisis dari BI yang memang perlu dievaluasi. Jika BI tidak mampu membantu pemerintah melakukan ekspansi fiskal lebih lebar, maka dampak penurunan ekonomi karena pandemi akan semakin besar dan membuat sektor riil semakin kesulitan. Pada akhirnya akan berdampak pada kualitas kredit dan likuditas bank juga," katanya.

Di hubungi terpisah, Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mebngatakan permasalahan likuditas menjadi isu yang memang harus terus dipantau.

Terlebih, pada mulai akhir semester pertama tahun ini perusahaan besar akan mulai membutuhkan restrukturisais kredit.

"Memang isu yang pertama itu adalah likuditas. Dan ini memang harus menjadi perhatian utama," katanya.

Aviliani menyebutkan tabungan masyarakat yang mulai berkurang untuk mencukupi kebutuhan hidup selama pandemi, juga mulai menjadi isu yang cukup serius akhir-akhir ini.

Di luar itu, kepercayaan nasabah juga cukup terpukul akibat pernyataan dari salah satu lembaga di pemerintahan yang kurang paham akan kondisi kirisis saat ini.

Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Sunarso mengatakan sebelumnya mengatakan likuiditas akan menjadi fokus utama perseroan tahun ini.

Dia menyebutkan meski potensi restrukturisasi masih tinggi, tetapi BBRI masih tergolong aman karena masih dapat menumbuhkan dana pihgak ketiga dengan baik guna menjadi modal dalam menghadapi arus kas masuk yang minim.

Di luar itu, emiten berkode BBRI ini juga mendapat keuntungan yang cukup baik dari diperolehnya komitmen pinjaman luar negeri sebesar US$1 miliar dalam skema club loan.

Pinjaman ini ditujukan untuk memperkuat struktur liabilitas dan meningkatkan net stable funding ratio, menjaga likuiditas valas sekaligus sumber pendanaan untuk ekspansi kredit nantinya.

"Kami dipercaya pinjaman sindikasi club loan pendanaan US$1 miliar dengan rate yang juga favorable. Di luar itu pun kami juga terus meningkatkan dana pihak ketiga kami yang sampai awal tahun masih positif 9,9 persen," imbuhnya.

Sebagai informasi, total restukturisasi kredit periode 12 bulan bank-bank milik pemerintah telah mencaai Rp192,64 triliun, dengan 75,1persen diataranya menggunakan skema penundaan pokok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hafiyyan
Terkini