Bisnis.com, JAKARTA -- Kinerja PT Bank Central Asia Tbk. yang positif pada kuartal I/2020 tidak cukup memikat investor pasar modal.
Saham emiten berkode BBCA pada perdagangan Rabu (27/5/2020) ditutup pada level Rp24.825 atau turun 0,10 persen dari harga penutupan sebelumnya yang berada pada level Rp24.850.
Padahal, BBCA pada pekan sebelumnya mampu mencapai peningkatan harga saham sebesar 3,76 persen dengan berada pada rentang level Rp23.400 hingga Rp25.000.
Bahkan, pada bulan lalu saham BBCA sempat mencapai level Rp27.000. Harga saham yang terus berfluktuasi tersebut membuat saham BBCA merosot 11,65 persen persen sepanjang satu tahun terakhir.
Padahal secara fundamental, bank milik Grup Djarum tersebut menjadi emiten yang cukup kuat dibandingkan emiten perbankan lainnya.
Kinerja keuangan BBCA dan entitas anak memang cukup positif selama kuartal I/2020 dengan laba bersih konsolidasi sebesar Rp6,6 triliun atau meningkat 8,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
BBCA mencatat pertumbuhan pendapatan operasional yang tinggi sebesar 17,3 persen year on year (yoy) menjadi Rp19,6 triliun.
Per Maret 2020, portofolio kredit Bank tumbuh 12,3 persen yoy menjadi Rp612,2 triliun. Pertumbuhan tersebut terutama didukung oleh kredit korporasi yang meningkat 25,4 persen yoy menjadi Rp260,4 triliun.
Bank BCA membukukan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 16,08 persen dibandingkan periode sama tahun lalu menjadi Rp741 triliun. Posisi likuiditas tetap kokoh dengan loan to deposit ratio (LDR) 77,6 persen.
Posisi LDR pada kuartal I/2020 lebih melimpah dari periode sama tahun lalu yang hanya sebesar 81,03 persen.
Secara rinci, realisasi dana pihak ketiga terbesar berasal dari dana murah dengan komposisi 76,7 persen dari total DPK. Dana murah (current account saving account/casa) selama kuartal I/2020 tumbuh 17,3 persen yoy mencapai Rp568,5 triliun.
Sementara itu, deposito selama kuartal I/2020 mampu tumbuh sebesar 15,1 persen yoy menjadi Rp172,5 triliun.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan penyaluran kredit maupun penghimpunan DPK memang selalu menurun awal tahun. Namun, kondisi Covid-19 yang membuat terjadinya penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada akhir Maret 2020, membuat penyaluran kredit lebih menurun lagi.
Di satu sisi, DPK tetap betumbuh meskipun terjadi pandemi Covid-19. Kondisi ini, lanjutnya, yang membuat likuiditas Bank BCA melimpah. BCA pun tidak akan mengeluarkan obligasi dalam waktu dekat.
"Likuiditas kita melimpah, kita tidak perlu mengeluarkan bond maupun melakukan right issue," katanya.
Dari sisi profitabilitas, laba sebelum provisi dan pajak mencatat pertumbuhan sebesar 17,4 persen yoy mencapai Rp10,1 triliun, ditopang peningkatan pendapatan operasional sebesar 17,3 persen yoy.
Pertumbuhan pendapatan operasional didukung oleh pendapatan bunga bersih yang meningkat 14,1 persen yoy menjadi Rp13,7 triliun dan pendapatan operasional lainnya yang naik 25,5 persen yoy menjadi Rp5,9 triliun.
Sementara itu, beban operasional tumbuh 17,2 persen yoy. Laba bersih triwulan pertama mendorong posisi permodalan BCA dengan rasio kecukupan modal (CAR) tetap kokoh sebesar 22,5 persen. Rasio pengembalian terhadap aset (ROA) sebesar 3,2 persen, sementara rasio pengembalian terhadap ekuitas (ROE) sebesar 15,6 persen.
Menurutnya, dengan kebijakan restrukturisasi, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) BCA tidak akan mengalami peningkatan signifikan. Meskipun berdasarkan laporan keuangan NPL BCA selama kuartal I/2020 tercatat meningkat menjadi 1,6 persen (gross) dari posisi kuaral I/2019 yang sebesar 1,47 persen (gross).
BBCA memproyeksi adanya peningkatan jumlah restrukturisasi sebesar 20 persen hingga 30 persen dari total kredit yang berasal dari 250.000 hingga 300.000 debitur.
Adapun hingga pertengahan Mei 2020, BCA sedang memproses restrukturisasi kredit sekitar Rp65 triliun hingga Rp82,6 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 10 persen - 14 persen dari keseluruhan portofolio kredit, yang berasal dari sekitar 72.000 debitur atau 10 persen dari total debitur seluruh segmen.
"Restrukturisasi tidak pengaruhi NPL tetapi pencadangan, dengan adannya peningkatan pencadangan artinya beban meningkat. Namun, PSAK 71 ada mengatur return earning, jadi ada pengaruh tetapi tidak besar [ke pencadangan]," katanya.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwe mengakui harga saham BBCA memang sulit mengalami penurunan. Namun, pada pekan ini, BBCA terimbas sentimen negatif Amerika Serikat yang akan memberikan sanksi ke China mengenai RUU Keamanan Nasional.
Pasar dunia merespon langkah Amerika Serikat secara negatif yang kemudian berimbas pada BBCA meskipun bank tersebut mencatatkan pertumbuhan yang positif.
Hanya saja, dia meyakini, pasar akan segera bangkit dan akan membuat saham BBCA kembali meningkat.
Terlebih, sebagai bank swasta terbesar di Indonesia, selama ini penurunan saham BBCA terbilang cukup tipis. Investor dinilai masih mempercayai BBCA dengan kemungkinan kecil akan melepas saham emiten ini.
"Investor juga biasanya akan menganalisa portofolio kredit bank tersebut, apakah bisnis menguntungkan atau tidak. emiten Bank BUMN banyak yang menyalurkan kredit pada bisnis yang portofolionya merah, BBCA portofolionya cukup bagus karena sebagai bank leading dan bisa menawarkan bunga rendah," katanya kepada Bisnis, Rabu (27/5/2020).
Pengamat Pasar Modal Aria Santoso mengatakan pelemahan saham BBCA pada perdagangan hari ini disebabkan aksi profit taking jangka pendek. Investor memilih untuk melepas saham karena adanya kenaikan harga pada hari sebelumnya yang cukup agresif di atas 4 persen dalam satu hari.
Meskipun, pada penutupan perdagangan hari ini BBCA mengalami pelemahan, hal itu akan cenderung terbatas dan masih ada potensi penguatan dalam pekan ini.
"Bank BCA merupakan Bank swasta terbesar yang dipersepsikan memiliki pengelolaan risiko terbaik sehingga oara investor menyukainya walaupun dihargai premium di pasar," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel