Meskipun Permintaan Turun, Importir Produk Ini Tetap Lanjutkan Impor

Bisnis.com,28 Mei 2020, 18:03 WIB
Penulis: Iim Fathimah Timorria
Pedagang bawang putih beraktifitas di salah satu pasar di Jakarta, Selasa (3/3/2020). Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pelaku usaha tetap melanjutkan pengadaan luar negeri alias impor terhadap komoditas pangan sesuai target, meskipun serapan pasar cenderung menurun selama pandemi Covid-19.

Ketua II Pelaku Usaha Bawang Putih dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) Valentino mengatakan realisasi impor bawang putih pada tahun ini berpotensi tetap tinggi

meski diperkirakan akan lebih rendah dibanding tahun lalu. Valentino mengatakan pasokan bawang putih tetap perlu dijaga demi memastikan harga komoditas tersebut tak melonjak naik.

"Jika normal baru (new normal) berlaku, kebutuhan bawang putih tidak akan jauh dari volume 500.000 ton per tahun. Kalau pada sebelum pandemi bisa mencapai 550.000 ton," ujar Valentino, Kamis (28/5/2020).

Kendati demikian, dia tak memungkiri jika permintaan bawang putih cenderung rendah selama pandemi. Dengan realisasi impor yang dia perkirakan mencapai 109.000 ton, pasokan bawang putih di pasaran disebutnya sudah melampaui kebutuhan.

"Permintaan sangat lamban akibat banyak rumah makan dan katering yang melayani ribuan pekerja di manufaktur tak beroperasi," lanjutnya.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Achmad Dawami menyatakan perusahaan pembibitan unggas sejauh ini belum menyatakan adanya rencana mengoreksi target impor.

Kuota importasi bibit ayam kelas galur murni (grand parent stock/GPS) pada 2020 sendiri ditetapkan di angka 650.000 ekor, lebih rendah dibandingkan kuota pada tahun lalu.

"Saya perkirakan realisasi akan menyesuaikan kuota karena untuk impor bibit unggas dampaknya dua tahun lagi. Jadi tidak bisa langsung dikurangi untuk menghindari shortage final stock," ujarnya.

Kendati demikian, Dawami mengatakan bahwa industri perunggasan kini dihadapkan pula pada tantangan lain.

Sejumlah perusahaan melaporkan adanya keterlambatan realisasi impor lantaran adanya karantina wilayah di negara pemasok. Kondisi ini berpotensi memicu penumpukan pasokan pada bulan-bulan tertentu.

"Jadi yang seharusnya masuk Maret dan April akan menumpuk dengan impor pada Juni dan Juli. Kalau begini dampaknya pada 2022 nanti ada bulan-bulan yang populasinya melimpah dan ada yang shoratage," kata Dawami.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Yustinus Andri DP
Terkini