Bisnis.com, JAKARTA — Terbitnya peraturan yang mewajibkan para pekerja menjadi peserta tabungan perumahan rakyat atau Tapera mendapatkan respons beragam dari para pekerja.
Sebagian menilai manfaat yang akan mereka terima belum jelas, tetapi program itu dinilai bisa membantu masyarakat untuk memiliki hunian dan tabungan hari tua.
Dari berbagai respons terhadap kebijakan yang terbit pada masa pandemi Covid-19 tersebut, setidaknya terdapat satu persamaan yang dirasakan para pekerja, yakni bertambahnya iuran yang wajib dibayarkan.
Putri Ayu Larasati, salah satu karyawan swasta yang berdomisili di Jakarta, melihat program Tapera akan menjadi semacam tabungan pensiun. Hal tersebut karena dirinya tidak memenuhi persyaratan sebagai penerima manfaat pembiayaan perumahan, tetapi wajib menjadi peserta.
Dia tidak tergolong sebagai pekerja berpenghasilan rendah, sebagaimana syarat untuk mendapatkan pembiayaan perumahan. Selain itu, dia pun telah mengikuti program kredit pemilikan rumah (KPR) dengan bantuan perusahaan tempatnya bekerja.
Artinya, Putri akan menjadi peserta Tapera yang rutin membayarkan simpanan dan manfaatnya baru bisa diperoleh saat memasuki masa pensiun. Dia pun melihat Tapera akan menjadi program pensiun lain bagi dirinya, juga bagi pekerja di kelasnya.
"Jadinya kan semacam tabungan pensiun, tetapi aku sudah ada tiga potongan untuk pensiun, jaminan hari tua [JHT], jaminan pensiun [JP; keduanya dari BPJamsostek], terus dana pensiun lembaga keuangan [DPLK] dari kantor. Terus saja ada potongan pensiun," ujar Putri kepada Bisnis, Senin (8/6/2020).
Menurutnya, memang akan terjadi mekanisme subsidi silang dalam penyelenggaraan Tapera. Peserta seperti dirinya akan membayarkan iuran dan peserta lain bisa mendapatkan manfaat pembiayaan perumahan. Mirip seperti penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Meskipun begitu, menurut Putri, penyelenggaraan program JKN yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terlihat 'jelas' karena bisa membantu biaya pengobatan masyarakat yang membutuhkan.
"Tapera ini seperti ada kekhawatiran salah sasaran nantinya, untuk siapa yang bisa mendapatkan bantuannya. Kalau baca-baca kisah warganet pun ada kekhawatiran sulitnya pencairan nanti saat masa pensiun," ujarnya.
Asmi Nur Aisyah, pekerja kreatif yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat menyatakan bahwa prasangka negatif langsung menyelimuti kepalanya saat mendengar munculnya program Tapera. Spontan dia berpikir bahwa jebolnya kas negara untuk penanganan Covid-19 membuat pemerintah menerbitkan program tabungan wajib tersebut.
Satu hal yang membuat Asmi keberatan dengan program tersebut, yakni wajibnya seluruh pekerja untuk menjadi peserta, termasuk pekerja lepas (freelancer). Dia menilai kewajiban tersebut terkesan 'memaksa' dan membatasi kebebasan pekerja untuk mengelola keuangannya.
"Kalau ini wajib bagi pegawai yang berkaitan dengan negara atau BUMN ya enggak apa-apa lah, tapi kalau ini wajib bagi semua, apalagi freelancer jadi memaksa. Harusnya kami boleh memilih dong untuk menggunakan jasa tabungan yang lainnya, mana yang paling cocok untuk kami pribadi," ujar Asmi kepada Bisnis, Senin (8/6/2020).
Meskipun begitu, dia menilai bahwa program itu bisa memberi manfaat bagi para pekerja yang tidak bisa atau kesulitan menabung. Asmi melihat hal tersebut kerap terjadi kepada generasi sandwich, yakni pekerja yang harus menghidupi dirinya, anaknya, dan orangtuanya.
Adanya program tabungan yang bersifat 'memaksa' membuat mereka akan mengalokasikan sebagian penghasilannya untuk hari tua. Selain itu, jika membutuhkan pembiayaan perumahan pun generasi sandwich bisa menggunakan manfaat dari Tapera.
Asmi melihat bahwa narasi yang digembar-gemborkan dari program Tapera adalah masyarakat luas bisa mendapatkan akses untuk membeli rumah. Namun, hal tersebut dinilai bisa jadi membingungkan karena nyatanya tidak semua peserta Tapera tidak bisa mendapatkan manfaat pembelian rumah.
"Menurut aku bagian ini harus diperjelas ketika sosialisasi Tapera, takutnya nanti orang-orang berpikir ini janji palsu, yang digembar-gemborkan bisa membeli rumah tapi kebanyakan malah tidak bisa mengakses manfaat itu," ujarnya.
Oktadiora Pratama, karyawan swasta asal Kota Tangerang, Banten berpendapat bahwa poin utama dari program Tapera adalah pembiayaan perumahan. Adanya potongan iuran bagi pekerja yang tidak bisa mendapatkan manfaat pembiayaan, menurutnya, seperti mengaburkan poin utama dari "tabungan perumahan".
"Kalau saya tidak bisa dapat manfaat pembiayaan perumahan, potongan 3 persen ini akan lebih baik jika saya alokasikan ke instrumen investasi lain," ujarnya kepada Bisnis, Senin (8/6/2020).
Warga melintas di proyek pembangunan rumah bersubsidi di Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Rabu (27/5/2020). Bisnis/Abdurachman
Dia menilai bahwa program Tapera memang memiliki misi yang baik bagi pekerja, tetapi potongannya memberatkan karena akan mengurangi perolehan gaji (take home pay) para pekerja. Dalam kondisi pandemi Covid-19, menurutnya, lebih penting bagi pekerja untuk menjaga dan mengelola sendiri penghasilannya.
"Makanya saya masih belum melihat apa manfaatnya untuk karyawan swasta. Apalagi dengan kondisi karyawan swasta yang pindah-pindah, belum lagi kalau ada transisi tidak dapat pekerjaan sementara waktu," ujar Oktadiora.
Deputi Komisioner bidang Pengerahan Dana Badan Pengelola (BP) Tapera Eko Ariantoro menjelaskan bahwa seluruh pekerja memang diwajibkan untuk menjadi peserta program Tapera. Hal tersebut menjadi amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera.
Berdasarkan Pasal 5 PP 25/2020, pemerintah mewajibkan masyarakat pekerja dan pekerja mandiri untuk menjadi peserta Tapera. Pekerja yang berusia paling rendah 20 tahun atau sudah menikah diharuskan menjadi peserta Tapera.
PP tersebut memberi waktu bagi perusahaan-perusahaan untuk mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BP Tapera dalam tujuh tahun setelah beleid itu berlaku. Artinya, seluruh pekerja wajib menjadi peserta Tapera pada 2027.
Eko menjelaskan bahwa pada 2021 pihaknya akan fokus menyasar segmen kepesertaan aparatur sipil negara (ASN), seiring adanya transmisi dana program Tabungan Perumahan (Taperum) yang dialihkan pengelolaannya ke BP Tapera.
"Pekerja BUMN, BUMD, BUMDes, dan pekerja mandiri akan menjadi target kepesertaannya berikutnya setelah ASN, tanpa menunggu tujuh tahun [tenggat waktu]," ujar Eko kepada Bisnis, Senin (8/6/2020).
Warga melintas di proyek pembangunan rumah bersubsidi di Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Rabu (27/5/2020). Bisnis/Abdurachman
Hal tersebut sesuai dengan peta jalan BP Tapera bahwa pada 2020–2021, badan tersebut akan fokus melakukan pengalihan program Taperum dan program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Operasional pelayanan BP Tapera pun akan fokus kepada ASN.
Pada 2022–2023, badan tersebut baru akan fokus melakukan perluasan kepesertaan ke segmen-segmen lain, yakni BUMN, BUMD, BUMDes, TNI, dan Polri. Pada periode ini pun Tapera akan fokus mengembangkan pelayanan digital.
Dalam peta jalan tersebut, BP Tapera tidak mencantumkan kapan perluasan kepesertaan pekerja swasta dan mandiri akan dilakukan. Namun, menurut Eko, akan terdapat sanksi bagi pekerja jika tidak mendaftar sebagai peserta BP Tapera.
"Nanti akan kami atur semuanya dalam Peraturan BP Tapera tentang kepesertaan," ujar Eko.
PP 25/2020 hanya mengatur bahwa peserta yang tidak tertib membayar simpanan dapat diberikan teguran, dan pemberi kerja yang tidak tertib membayar simpanan pekerjanya bisa dikenakan sanksi pencabutan izin usaha. Tak ada pengaturan bagi pekerja yang tidak mendaftar sebagai peserta BP Tapera.
Sebelumnya, Deputi Komisioner Badan Pengelola (BP) Tapera Adi Setianto menjelaskan bahwa program Tapera bisa menjadi solusi pembiayaan perumahan bagi para pekerja. Padahal, untuk mencapai tujuan tersebut, kepesertaan dan pengelolaan program menjadi poin yang harus dipahami para pekerja.
"Tapera bisa menjadi solusi untuk penyediaan dana murah jangka panjang dan berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan yang layak," ujar Adi pada Jumat (5/6/2020).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel