Bisnis.com, JAKARTA – Restrukturisasi kredit yang didorong oleh pemerintah akibat penyebaran pandemi Covid-19 dianggap bisa membahayakan kondisi perusahaan bila tanpa dibarengi dengan pembentukan pencadangan.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) Jahja Setiaatmadja perseroan tidak mau mengambil risiko, meskipun otoritas memperbolehkan bank melakukan restrukturisasi kredit tanpa pencadangan.
Menurut Jahja, restrukturisasi akan membuat kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) tidak terlihat di dalam pembukuan, artinya menjadi berstatus lancar. Padahal, hal ini tidak lantas membuat kredit bermasalah benar-benar hilang.
“Ini bahayanya restrukturisasi, artinya seluruh nasabah yang tidak sanggup bayar menjadi tetap berstatus lancar,” katanya dalam Live Webinar Perbankan bersama LPS dan BCA yang digelar oleh Bisnis Indonesia, Rabu (10/6/2020).
Menurutnya, hal ini tidak baik. Oleh karena itu, secara internal perbankan, termasuk BCA, tetap melakukan pendalaman dengan mengecek kondisi nasabah satu per satu sebelum memberikan keringanan pembayaran kredit.
“Sebagai perbankan, secara internal kami terpaksa dalami satu per satu keadaan nasabah, apakah masalah likuditas saja tapi kemudian bisa survive, atau ada masalah serius. Dampaknya bukan hanya likuditas mereka, tapi profitabilitas dan volume industri dan lain-lain, karena ini bersifat permanen,” tuturnya.
Guna menghindari efek yang lebih jangka panjang di kemudian hari, BCA tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan restrukturisasi kredit kepada debitur.
Selain itu, emiten bersandi BBCA ini tetap berupaya membentuk pencadangan secara normal dengan memperhitungkan jumlah nasabah yang kesulitan membayar pinjaman.
“Pencadangan kami buat normal, tapi NPL tidak mungkin sebagai NPL. Kami tidak berani tidak membuat pencadangan, nanti dapat keuntungan overstated padahal nasabahnya bermasalah. Kalau di apps, ada Face App yang membuat muka tua jadi muda, tapi intinya kan kita tetap tua. Itu harus didalami dan dihitung, kami tidak mau mengelabui investor pemegang saham, tampak cantik tapi di dalamnya borok,” ujarnya.
Nasabah melakukan transaksi lewat mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (28/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Revisi Rencana Bisnis
Lebih lanjut, Jahja mengatakan, BCA juga tetap berhati-hati dalam membentuk pencadangan. Pembentukan pencadangan ini juga diperkirakan akan mempengaruhi profitabilitas perseroan pada tahun ini.
Dia menyebutkan, BCA dan perbankan secara umum juga akan merevisi target kinerja dalam rencana bisnis bank (RBB) pada pertengahan tahun 2020. Pasalnya, saat RBB dirancang pada periode Agustus – Oktober 2019, belum ada perkiraan tentang merebaknya pandemi Covid-19.
“Untuk RBB, pasti [diubah]. Waktu bikin RBB kami tidak ada berpikir bakal ada Covid-19, hanya rencana dengan kondisi cabang normal. Dengan kondisi ini, kami pasti harus revisi RBB, karena tidak mungkin memenuhi RBB yang kita berikan ke OJK.”
Sebelumnya, dalam beberapa kali kesempatan, Jahja menyebutkan pertumbuhan kredit secara industri perbankan pada tahun ini kemungkinan akan sebesar 6%. Namun, BCA tetap optimistis mampu mencapai target pertumbuhan kredit sebesar 5% hingga 7%.
Sementara itu, data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan hingga 2 Juni 2020 telah dilakukan restrukturisasi pada 5,94 juta debitur dengan nilai Rp609,07 triliun.
Realisasi restrukturisasi tersebut dilakukan oleh 99 bank umum konvensional maupun syariah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4,96 juta debitur merupakan sektor UMKM dengan nilai restrukturisasi Rp282,64 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel