Pengusaha Minta Perjanjian Dagang Dengan Mitra Utama Dikebut

Bisnis.com,11 Jun 2020, 13:18 WIB
Penulis: Iim Fathimah Timorria
Aktifitas bongkar muat di terminal petikemas Pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan. Bisnis/Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA – Para pengusaha mendesak agar pemerintah menyelesaikan sejumlah perjanjian dagang dengan negara mitra dagang utama Indonesia. Hal ini dibutuhkan untuk mendongkrak kinerja ekspor RI saat pemulihan ekonomi.

Dari sekian perundingan perdagangan yang masih berjalan, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto berharap kesepakatan dagang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang mencakup negara-negara Indo-Pasifik dan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dapat menjadi prioritas dan dirampungkan segera.

"Karena pasar Eropa dan Asia untuk produk tekstil kita cukup bagus," ujar Anne saat dihubungi Bisnis, Kamis (11/6/2020).

Senada, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo IEU-CEPA serta kesepakatan dagang bilateral dengan Jepang dan Korea Selatan perlu menjadi prioritas. Pasalnya, pangsa terbesar produk hasil hutan berada di kawasan Asia Timur dan Eropa.

"Kalau diurutkan, lima besar pasar kita adalah China, Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Korea Selatan," ujar Indroyono kepada Bisnis.

Berdasarkan data yang dihimpun APHI, ekspor kayu olahan ke Jepang sepanjang 2019 mencapai US$1,36 miliar, sementara ke Uni Eropa mencapai US$1,09 miliar dan ke Korea Selatan senilai US$709,3 juta. Indroyono mengatakan kesepakatan dagang dengan negara-negera tersebut pun telah diiringi dengan pengakuan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) sehingga kayu Indonesia tidak akan diserang isu legalitas.

"SVLK kita telah diakui di Eropa sesuai skema FLEGT [Forest Law Enforcement, Government, and Trade], Jepang dan Korea Selatan pun membutuhkannya," lanjut Indroyono.

Sementara itu, Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai Indonesia harus mengubah paradigma perundingan perdagangan bebas dan beralih ke kebebasan dalam berinvestasi. Pasalnya, meski berbagai negara memberlakukan pembebasan tarif sebagai kelanjutan dari kesepakatan dagang, pemberlakukan hambatan nontarif pun masih berkembang.

"Perdagangan bebas itu nonsense. Sekalipun tidak ada pengenaan tarif, negara-negara tetap marak memberlakukan hambatan nontarif [non-tariff measures]," ujarnya.

Adapun berdasarkan data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), sepanjang kuartal I 2020 terdapat 584 inisiasi hambatan dagang bersifat yang diinisiasi dan 31 kebijakan yang mulai berlaku. Pada periode ini, sebanyak 403 inisiasi kebijakan sanitari dan fitosanitari pun mengemuka. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Yustinus Andri DP
Terkini