Tidak Ada Jakarta Fair, Jakarta Berpotensi Kehilangan Rp7 Triliun

Bisnis.com,12 Jun 2020, 20:05 WIB
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Kembang api memeriahkan pembukaan Jakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta 2017 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (8/6) malam. Jakarta Fair Kemayoran 2017 (JFK) merupakan arena pameran dan hiburan terbesar se-Asia Tenggara mulai dibuka hari ini, Kamis 8 Juni 2017, dan akan dilangsungkan selama 39 hari hingga 16 Juli mendatang. ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Bisnis.com, JAKARTA - Absennya kegiatan besar di JIEXPO Kemayoran, yakni Jakarta Fair akibat pandemi Covid-19 telah menelan kerugian nyaris Rp7 triliun tahun ini.

Direktur JIEXPO Ralph Scheunemann menjelaskan sejak awal Maret 2020 setelah perhelatan Java Jazz 2020 akhir Februari lalu di JIEXPO Kemayoran, pihaknya telah menunda dan membatalkan sekitar 20 event berskala nasional dan internasional. 

Jenis event yang ditunda sangat beragam, dari mulai konser musik, pameran, dan konferensi. Salah satu yang paling besar dan menjadi andalan JIEXPO Kemayoran adalah perhelatan Jakarta Fair yang merupakan ikon dari perayaan ulang tahun Provinsi DKI Jakarta.

Berdasarkan rencana, seharusnya event ini diadakan pada 14 Mei 2020 sampai 29 Juni 2020 namun sayang harus tertunda. Dia pun mengaku perhelatan Jakarta Fair tahun ini masih harus menunggu keputusan dari Pemprov DKI Jakarta. Namun jika kondisi normal baru berlangsung dengan baik, Jakarta Fair akan dilangsungkan pada Desember 2020.

“Jakarta Fair itu transaksinya bisa lebih dari Rp7 triliun, kegiatan ini selalu menyediakan lapangan kerja dari sebelum acara, proses acara, sampai pasca acara bisa sampai 25.000 orang terserap. Jakarta Fair ini yang biasanya menyerap keuntungan besar juga buat UMKM,” kata Ralph saat dihubungi Bisnis, Kamis (11/4/2020).

Dia menegaskan dengan kontribusi yang besar dari perhelatan Jakarta Fair bagi perekonomian seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah khususnya Pemprov DKI untuk memberikan insentif bagi pelaku usaha meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE).

“Di Jerman misalnya untuk pengusaha MICE sudah diberikan juga insentif pajak sehingga ini bisa menstimulasi usaha,” ungkap Ralph.

Beberapa contoh insentif lain untuk membuat bisnis MICE tetap bernafas cukup panjang yakni pemerintah bisa mengadakan konferensi atau kegiatan dengan mengandalkan jasa dari para pelaku usaha event organizer. Dia beralasan, hal itu akan membantu pendapatan pelaku usaha, ketimbang pemerintah mengadakan acara di gedung atau aset milik pemerintah.

Pemberian insentif ini menurut Ralph bisa menambal kerugian yang kini dialami dengan persentase sekitar 75 persen sampai 80 persen mulai Maret 2020 sampai Juni 2020. Maklum saja, sepanjang Maret, April, Mei, umumnya menjadi waktu peak season bagi industri MICE. Setelah melandai pada Juni dan Juli, peak season akan kembali mulai Agustus hingga akhir tahun.

“Kalau September sudah normal lagi, kemungkinan besar kerugian kami secara total hanya 60 persen, tapi kalau lebih lama hingga Oktober 2020 naka kerugian bisa sampai 70 persen,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Novita Sari Simamora
Terkini