Ekspor APD Dilonggarkan, Bagaimana Dampaknya ke Industri Lokal?

Bisnis.com,17 Jun 2020, 18:44 WIB
Penulis: Iim Fathimah Timorria
Kepala Labkesda DKI Endra Muryanto saat mencoba APD coverall bantuan dari Pemprov DKI Jakarta baru -baru ini./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Relaksasi larangan terbatas ekspor alat pelindung diri (APD) dan masker produksi dalam negeri dipandang sebagai langkah yang tepat. Kebijakan ini dapat mencegah timbulnya pasokan berlebih produk tersebut yang bisa memicu persaingan tidak sehat di dalam negeri.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengatakan banyak pelaku usaha yang melakukan alih produksi sejak Covid-19 melanda.

Salah satunya adalah industri garmen yang mengalihkan produksi ke alat kesehatan untuk mempertahankan eksistensi. Dengan adanya pengalihan tersebut, Shinta menyebutkan kapasitas produksi APD dan masker nasional pun meningkat.

"Kalau lartas [larangan dan pembatasan] ekspor tidak dibuka, dikhawatirkan justru akan terjadi oversupply sehingga persaingan menjadi tidak sehat dan industri juga tidak bisa berkembang. Padahal di pasar internasional masih banyak negara yang membutuhkan," kata Shinta saat dihubungi Bisnis, Rabu (17/6/2020).

Dengan dilonggarkannya larangan ekspor, perusahaan-perusahaan yang memproduksi alat kesehatan atau mengalihkan produksi pun disebut Shinta bisa bersiap-siap memperbesar kapasitas produksi. Pelaku usaha pun bisa menyiapkan syarat kepatuhan agar dapat merealisasikan ekspor dan mencari pembeli potensial dan memastikan kesiapan logistik.

Di sisi lain, Shinta berpendapat hadirnya relaksasi ini tak serta-merta bakal menjadi bumerang dalam pemenuhan kebutuhan masker dan alat pelindung diri di dalam negeri. Pasalnya, mekanisme monitor ekspor telah disiapkan demi menjamin ketersediaan di dalam negeri tak terganggu dengan stok ekspor.

Kementerian Perdagangan sendiri melakukan degradasi pengaturan dengan menggunakan mekanisme persetujuan ekspor (PE). Mekanisme ini berlaku terhadap produk bahan baku masker, masker bedah, masker N-95, APD coverall, dan surgical gown.

Pengajuan PE dilakukan melalui sistem Indonesia National Single Window (INSW) yang terintegrasi dengan sistem Inatrade. Selain itu, pengajuan PE juga wajib dilakukan dengan memenuhi persyaratan yang mencakup izin usaha industri, rencana ekspor dalam jangka waktu enam bulan, serta surat pernyataan mandiri memiliki ketersediaan untuk kebutuhan dalam negeri. 

Di sisi lain, Kementerian Perdagangan pun memiliki kewenangan untuk membekukan PE yang sudah diterbitkan dan/atau menolak pengajuan permohonan PE.

Pembekuan PE dilandasi adanya data terjadinya peningkatan kebutuhan di dalam negeri terhadap bahan baku masker, masker,  dan APD. Pembekuan PE dapat diberikan pengecualian kepada eksportir yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran PEB dari Kantor Pabean.

Ke depannya, Shinta menyebutkan tantangan bagi pelaku usaha berada pada kecukupan modal dan keberlanjutan cashflow untuk membiayai produksi dan ekspor.

Pasalnya, tidak semua pelaku usaha memiliki kondisi finansial yang kuat untuk menunjang aksi bisnis yang bersifat ekspansif.

Selain itu, pelaku usaha pun harus menghadapi ketidakpastian dari adanya syarat jaminan stok untuk dalam negeri mengingat hanya pemerintah yang mengawasi data ketersediaan

"Ada risiko kerugian ekspor yang cukup signifikan. Karena itu, kami harap ada transparansi dan komunikasi yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha terkait kebutuhan di tingkat nasional dan persebarannya agar pelaku usaha memiliki kepastian terkait penerbitan PE," ujar Shinta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Yustinus Andri DP
Terkini