Bisnis.com, JAKARTA - Transaksi di pasar uang antar bank mengalami tren penurunan sejak awal 2020 dan diperkirakan akan terus berlanjut sepanjang tahun ini.
Berdasarkan data Bank Indonesia, rata-rata harian volume transaksi PUAB jangka pendek (overnight) per April 2020 adalah sebesar Rp6,02 triliun.
Sementara per Maret 2020, rata-rata harian volume transaksi PUAB sudah tercatat menurun menjadi sebesar Rp9,11 triliun. Padahal per Desember 2019 rata-rata volume transaksi masih sebesar Rp12,05 triliun.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah berpendapat karakter PUAB di Indonesia selama ini memang sepi peminat, tercermin dari peserta yang sangat minim.
Di samping itu, transaksi antar bank di pasar uang pun dinilai sangat tersegmentasi. Di antara bank-bank yang terlibat di PUAB, cenderung memiliki gap ada kelompok-kelompok tertentu.
“Jumlah bank yang terlibat sangat minim dan yang terlibat juga sangat tersegmentasi, ada gap-nya. Misal, Bank Mandiri sama bank mana, Bank BCA sama bank mana. Sehingga volume transaksi yang diputar sangat minim,” katanya, Kamis (25/6/2020).
Sementara menurut Piter, bank yang yang memiliki kelebihan likuiditas lebih memilih menempatkan dananya di instrumen lainnya, seperti pada kredit atau di Bank Indonesia.
Piter mengutarakan, penempatan dana bank di pasar uang sebenarnya lebih berisiko ketimbang instrumen lainnya.
“Bank yang besar, beban bunganya [cost of fund/CoF] rendah jadi bisa ditaruh di kredit, SUN, PUAB, atau BI. Jika di SUN bunganya tinggi dan bebas risiko, sedangkan jika ditaruh di PUAB berisiko,” jelas Piter.
Sehingga, imbuh Piter, bank yang memiliki banyak uang cenderung enggan masuk ke pasar uang. Sementara bank kecil yang membutuhkan likuiditas akan sulit mendapatkan dana dari pasar uang.
“Jadi PUAB mulai ditinggalkan bank, sehingga nilai transaksinya sangat minim. PUAB akan terus sepi selama sistem yang berjalan saat ini berlanjut dan seku bunga yang ditawarkan BI lebih tinggi,” tutur Piter.
Pengamat perbankan dari Universitas Bina Nusantara Doddy Ariefianto beranggapan likuiditas di perbankan sata-rata melonggar saat ini karena dana yang seharusnya berputar di dunia usaha mengendap di bank.
Alhasil, transaksi di pasar uang akan sangat terbatas. Meski demikian, imbuhnya, tidak semua bank berkelebihan likuiditas. Selain itu, menurutnya juga, transaksi di pasar uang juga memiliki risiko yang tinggi.
Dia mengatakan, ketika meminjamkan dana melalui pasar uang, bank peminjam memiliki prosedur risk management.
“Bank peminjam akan menganilisis kesehatan bank peminjam dan kemampuan membayar balik-nya, baru kemudian akan diberikan plafon atau line of credit,” jelas Doddy.
Lebih lanjut, imbuhnya selama ini praktek peminjaman yang berjalan kebanyakan melalui skema repurchase agreement atau repo dengan kolateral dalam bentuk surat berharga.
Seharusnya, kata Doddy, PUAB dapat menggunakan skema penjaminan menggunakan kredit yang sehat, yang sudah dipraktekkan di negara lain. Dengan demikian, risiko di PUAB lebih bisa ditekan.
“Data kolektabilitas kredit seharusnya bisa diakses dan di PUAB harus dikembangkan, yang dijaminkan kredit bermutu tinggi.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel