Ketika air laut pasang, sepertinya semua berenang dengan baik-baik saja, tetapi saat air surut, baru ketahuan ada orang yang berpakaian layak, compang-camping, atau bahkan telanjang.
Perumpamaan ini beberapa kali disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menggambarkan gejolak perekonomian. Makna bebasnya kira-kira begini, ketika ekonomi stabil, semua terlihat normal, tetapi saat guncangan terjadi, ada yang memang baik-baik saja, tetapi ada juga sedang mengalami kekacauan.
Kali ini, dunia sedang berhadapan dengan krisis kesehatan akibat wabah Covid-19 yang sudah berubah menjadi krisis ekonomi. Banyak bisnis tetap kuat, tetapi tak sedikit terancam akibat terganggunya permintaan. Semua panik karena melihat prospek bisnis ke depan sangat suram.
Sektor perbankan sudah pasti turut terpukul dan menghadapi ketidakpastian akibat risiko kegagalan dunia usaha yang meningkat. Bank sebagai lembaga intermediasi selalu merefleksikan dari bagaimana perekonomian berjalan. Sebagian besar aset bank, berada ditangan dunia usaha dalam bentuk kredit.
Pada titik ini menjadi penting bagi kita mencermati apa yang terjadi sekarang, mengamati respons para pemangku kepentingan serta langkah-langkah yang ditempuh untuk mengendalikan situasi. Bagaimana sebuah bank ditangani, bisa menjadi indikator kesiapan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia menghadapi gejolak yang lebih hebat.
Saya akan mengawalinya dengan PT Bank Bukopin Tbk.
***
Surat perintah tertanggal 10 Juni 2020 ditujukan kepada Presiden KB Kookmin Bank dan ditandatangani oleh Heru Kristiyana, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK. Isinya, OJK telah memberikan waktu cukup bagi bank asal Korea itu sejak 2019 untuk memenuhi komitmen menambah modal dan mengatasi masalah likuiditas Bank Bukopin.
Pada 3 Juni, OJK sebenarnya sudah mengirimkan peringatan kepada Kookmin agar memenuhi tenggat penempatan dan escrow sebesar US$200 juta pada 10 Juni.
Peringatan serupa juga dilakukan otoritas itu saat video conference dengan pihak Kookmin pada 8 Juni.
Dalam surat yang sejatinya rahasia tetapi beredar luas melalui media sosial akhir pekan lalu, terasa sekali kegusaran OJK kepada Kookmin. Sementara Kookmin, melalui surat tertanggal 9 Juni 2020, masih meminta jaminan senilai Rp4 triliun hingga Rp5 triliun atas pemberian money market line US$200 juta yang dilakukan secara bertahap dan kelak dikonversi menjadi saham.
Di ujung perintahnya, Heru menyatakan bahwa ‘KB Kookmin telah gagal memenuhi komitmen meningkatkan permodalan dan mengatasi permasalahan likuiditas Bank Bukopin terhitung sejak tanggal surat ini’. Konsekuensinya, pertama, Kookmin dilarang melakukan tindakan dalam bentuk apapun yang bertujuan menghalangi masuknya investor lain ke Bank Bukopin.
Kedua, menyetujui tindakan investor baru mengambil alih Bank Bukopin sesuai kondisi objektifnya. Ketiga, memberikan kuasa kepada Tim Asistensi Teknik menggunakan hak suara dalam rapat umum pemegang saham Bank Bukopin untuk memilih direksi dan komisaris.
Pelanggaran terhadap perintah tertulis tersebut, dapat dikenakan pidana penjara dan pidana denda. Benarkan Kookmin gagal memenuhi komitmen kepada OJK yang tengah berpacu dengan waktu untuk melakukan penyehatan Bank Bukopin?
Bila merunut komunikasi OJK dan Kookmin sebelumnya, bank asal Korea itu tampak sangat hati-hati. Ini terlihat permintaan jaminan hingga 300% pada penempatan dana di Bank Bukopin sebelum Kookmin menjadi pemegang saham mayoritas melalui penerbitan saham baru.
Kookmin juga merasa tidak mendapatkan informasi yang utuh mengenai Bank Bukopin kendati telah menguasai 20% saham dan menempatkan anggota direksi, terutama masalah likuiditas yang baru diketahui pada 13 Mei 2019.
Dalam surat sebelumnya kepada OJK, Kookmin bahkan dengan tulus meminta maaf ‘jika dalam upaya kami yang terburu-buru telah menyebabkan kesalahpahaman karena kendala bahasa’. Kookmin berjanji, akan menyelesaikan uji tuntas terhadap Bank Bukopin pada 30 Juni 2020.
Ketidakpastian investor terus berlanjut keesokan harinya, ketika beredar surat OJK kepada manajemen PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. agar memberikan asistensi teknis kepada Bank Bukopin. Padahal, sebelumnya juga telah beredar informasi bahwa PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. telah menjalankan hal serupa.
BNI bahkan telah menjadi salah satu penopang likuiditas Bank Bukopin sejak sebulan terakhir melalui skema B to B berupa pinjaman antarbank dengan jaminan aset tetap. Pinjaman tersebut akan dibayar dengan aset kredit yang harus diverifikasi melalui uji tuntas.
Konon, sejumlah aset kredit lancar BBKP bernilai sekitar Rp1,3 triliun sesuai nilai pinjaman antarbank yang diberikan. Kredit dengan kolektibilitas satu tersebut, menurut sumber Bisnis di BNI, tersebar pada semua segmen baik korporasi, komersial.
Upaya untuk mengantisipasi kemungkinan batalnya Kookmin menjadi pemegang saham pengendali juga sempat dibicarakan oleh sejumlah bank BUMN plus PT Bank Central Asia Tbk.
Begitu banyaknya pihak yang ingin terlibat dalam menyelesaikan masalah Bukopin menunjukkan bahwa bank ini memang lumayan secara bisnis. Skema B to B dari BNI juga menunjukkan Bank Bukopin memiliki aset dengan kualitas baik sehingga bisa ditukarkan dengan dana segar untuk solusi likuiditas jangka pendek.
Namun, problem menahun dari bank tanpa pemegang mayoritas (di atas 51%) semacam Bukopin adalah sulitnya mencapai konsensus bila menghadapi suatu masalah. Ini juga terjadi pada kasus Bank Muamalat di mana OJK juga kesulitan menyatukan sikap para pemegang saham.
Dalam kasus Bukopin, bocornya surat menyurat OJK-Kookmin makin menegaskan bahwa ada pihak internal baik di OJK maupun antarpemegang saham Bukopin yang tak satu suara. Belakangan, juga beredar surat dari Bosowa—salah satu pemegang saham lain—yang menegaskan komitmen untuk turut menambah setoran modal.
Namun, ujung dari ketegangan akhirnya mencair pada 11 Juni sore hari, ketika OJK merilis siaran pers yang menyatakan bahwa Kookmin telah menyatakan bersedia menjadi pemegang saham pengendali Bank Bukopin dengan meningkatkan kepemilikannya dari 22% menjadi 51%.
Itu artinya, akan ada pemegang saham lain yang kepemilikannya terdilusi dalam rights issue yang akan dilaksanakan dalam bulan ini. Bosowa besar kemungkinan akan mengeksekusinya haknya bila merunut dana Rp239 miliar yang telah disediakan.
Kesediaan Kookmin dibuktikan dengan penempatan dana di escrow account untuk menjadi pemegang saham pengendali. Untuk sementara, badai yang menerpa Bank Bukopin pun mereda.
Ini terlihat dari reaksi pasar pada keesokan harinya di mana saham BBKP melejit hingga 21% pada perdagangan Jumat, 12 Juni 2020, pada level Rp206. Sejak didera masalah likuiditas, saham Bank Bukopin sempat mencapai titik terendah Rp78.
Apakah dengan dengan kepastian Kookmin yang mau menjadi pemegang saham sudah final? Kita tunggu perkembangan berikutnya.
***
Tekanan likuiditas sebenarnya merupakan hal normal dialami bank terutama ketika mayoritas dana yang dihimpun berjangka pendek, sementara kredit berjangka panjang. Namun, likuiditas menjadi sangat sensitif ketika kepercayaan kepada bank menurun dan nasabah memilih memindahkan dananya.
Bank Bukopin kurang lebih mengalami hal tersebut sepanjang bulan Mei yang dipicu oleh penarikan dana dari sejumlah nasabah kakap terutama BUMN. Tekanan likuiditas BBKP makin besar ketika terjadi penurunan dana pihak ketiga belasan triliun rupiah sejak Desember 2019.
Dalam situasi ini, menemukan solusi likuiditas dalam waktu cepat adalah keniscayaan. Masalahnya bukan sekadar menyelamatkan satu bank saja, BBKP, tetapi 32 bank lain yang terhubung dan terpengaruh. Inilah definisi sederhana dari bank sistemik.
Pelajaran yang bisa diambil dari drama Bukopin vs Kookmin ini adalah pentingnya kolaborasi para pihak jika masalah kepercayaan kepada bank mulai tergerus. Namun, karena saat ini situasi ekonomi akibat wabah Covid-19 begitu sulit, rasanya hanya mengandalkan lembaga keuangan lain atau investor asing jauh dari cukup.
Semua bank di Indonesia, akan menghadapi tekanan bisnis sangat hebat dalam beberapa bulan ke depan seiring melambatnya aktivitas bisnis. Ujungnya, akan berakibat pada peningkatan kredit bermasalah.
Tentu saja industri perbankan punya kapasitas terbatas untuk saling membantu. Di sinilah pentingnya mengingatkan fungsi Bank Indonesia sebagai lender of the last resort. Beredar kabar bahwa pada saat sejumlah bank mengalami masalah, pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP) dari Bank Indonesia sulit diakses.
PLJP adalah pinjaman dari Bank Indonesia kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek. Kesulitan likuiditas jangka pendek disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dalam rupiah.
Sudah semestinya, kewenangan bank sentral ini bisa dimanfaatkan sebaik baiknya dengan prudent tanpa harus khawatir dipersoalkan secara hukum kelak kemudian hari. Bukankah kita sudah mengambil banyak pelajaran dari kasus Bank Century pada 2008?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel