Bisnis.com, JAKARTA - Legislator menilai skema penempatan dana pemerintah melalui bank mitra umum berpotensi sulit diimplementasi, serta menimbulkan risiko likuiditas baru khususnya pada bank swasta.
Selain itu, Dewan Perwakilan Rakat (DPR) mengkhawatirkan kebijakan ini tidak dapat dikoordinasikan dengan baik. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/PMK.05/2020 Tentang Penempatan Uang Negara pada Bank Umum dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Dari beleid baru tersebut, otoritas fiskal memutuskan menempatkan uangnya di bank umum yang nantinya disebut sebagai bank mitra dengan tetap dikenakan remunerasi atau bunga. Dalam tahap pertamanya, pemerintah melakukan penempatan dana senilai Rp30 triliun di himpunan milik negara (Himbara).
Anggota Komisi XI DPR M. Misbakhun mengatakan penempatan dana ini tidak akan efektif lataran memiliki aturan yang terlalu kaku yang bisa menyulitkan bank mitra yang mendapat kelebihan dana.
"Ini ada aturan [dananya] tidak boleh digunakan untuk beli SBN dan transkasi valas. Padahal etika dana itu masuk, dana itu akan otomatis menjadi likuiditas bagi bank dan dimanfaatkan seefektif mungkin agar tidak menjadi Idle. Siapa yang bisa menjamin itu?" ungkap Misbakhun, Senin (29/6/2020).
Selain itu, dia menyebutkan penempatan dana pemerintah tahap pertama pada bank Himbara juga menunjukkan keberpihakan pemerintah yang berlebihan pada badan usaha milik negara (BUMN).
"Padahal yang tahu kebutuhan masing-masing bank itu, ya OJK. Ini terlihatnya pemerintah hanya mau mneyelamatkan banknya sendiri. Di pasar, sentimen ini justru bisa berdampak pada perpindahan dana masyarakat bersar-besaran ke bank Himabara," ucapnya.
Di luar itu, Misbahkun pun mengomentari tindakan LPS yang belum ikut dalam tindakan burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel