BPJS Kesehatan Defisit, Ini Lima Pihak yang Diduga Lakukan Fraud

Bisnis.com,30 Jun 2020, 18:28 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Karyawan beraktivitas di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Jakarta, Rabu (13/5/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Tindak kecurangan dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN menjadi sorotan karena dinilai membebani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan hingga menyebabkan defisit. Terdapat lima pihak yang diduga bisa melakukan kecurangan tersebut.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia G. Partakusuma menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan menjadi sorotan besar dalam masa pandemi virus corona saat ini. Hal tersebut mencakup pelayanan bagi para peserta JKN yang harus memenuhi syarat kualitas dan standar keamanan.

Lia menjelaskan bahwa salah satu isu yang berkembang dari pelayanan kesehatan adalah adanya praktik kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan program JKN. Praktik tersebut dinilai membebani program JKN yang pada akhirnya berimbas kepada kualitas pelayanan kesehatan.

Dia pun menghimbau agar praktik fraud itu bisa dihindari dan dicegah, khususnya oleh rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL). Namun, Lia menilai bahwa kecurangan bukan hanya bisa terjadi di rumah sakit, melainkan terdapat lima pihak yang berpotensi melakukan fraud.

"Pertama adalah dari peserta [program JKN] itu sendiri, lalu kedua adalah BPJS Kesehatan selaku pelaksana kebijakan dalam lingkungan organisasi BPJS. Terdapat potensi fraud yang bisa dilakukan sehingga mengganggu pelaksanaan [program] JKN," ujar Lia dalam webinar Teknologi Informasi untuk Pencegahan Fraud dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan, Selasa (30/6/2020).

Pihak ketiga yang berpotensi berbuat curang adalah fasilitas kesehatan. Menurut Lia, Persi tak menutup mata bahwa memang terdapat fasilitas kesehatan yang kerap melakukan tindak curang, salah satu modus yang kerap ditemui adalah pengobatan berulang bagi pasien sehingga klaim biaya pelayanan yang diajukan bisa menjadi lebih besar.

Selain itu, pihak keempat yang bisa melakukan fraud adalah penyedia obat-obatan dan alat kesehatan, yakni mitra kerja rumah sakit dan klinik dalam penyediaan barang-barang tersebut. Rentan terdapat kecurangan di sana, salah satunya dengan adanya kontrak agar pihak rumah sakit menggunakan obat tertentu yang diresepkan kepada pasien.

Terakhir, pihak kelima yakni pemangku kepentingan atau pihak lain yang turut terlibat dalam pelayanan kesehatan. Lia menilai bahwa kelima pihak tersebut perlu terlibat dalam upaya penghapusan dan pencegahan tindak fraud agar program JKN dapat berjalan dengan baik.

"Penerapan teknologi informasi bisa menjadi salah satu cara untuk mencegah fraud. Banyak operational cost yang bisa dikurangi [dengan penerapan teknologi], kepesertaan bisa dilihat dari data kependudukan, bisa jadi acuan, jadi tidak mungkin ada fraud," ujar Lia.

Isu tindak kecurangan menjadi salah satu sorotan masyarakat terhadap pelaksanaan program JKN. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai bahwa terdapat indikasi tindak kecurangan tetapi hal tersebut sulit terlihat karena hasil audit BPJS Kesehatan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) belum bisa diakses oleh publik sampai saat ini.

Egi menjelaskan bahwa tidak transparannya hasil audit tersebut bisa menimbulkan pertanyaan bagi publik terkait masalah sebenarnya yang terjadi di tubuh BPJS Kesehatan. Karena masalah tersebut, BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp15,5 triliun pada 2019 dan menjadi dalih alasan utama bagi kenaikan iuran.

"Tentunya publik tidak bisa mengawasi permasalahan di BPJS Kesehatan apa saja, kita jadi hanya bisa menerka-nerka masalahnya apa. Lalu, bisa jadi upaya penyelesaian masalahnya pun tidak sesuai dengan masalahnya [yang terdapat di dalam hasil audit BPKP]," ujar Egi kepada Bisnis.

Dia menjelaskan bahwa publik berhak untuk mengetahui persoalan sesungguhnya dari BPJS Kesehatan, sehingga publik bisa menilai tepat atau tidaknya langkah-langkah penyelesaian yang ada. Salah satu langkah menangani defisit yang ditempuh pemerintah adalah dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai besok, Rabu (1/7/2020).

Kenaikan iuran tersebut ditentukan dalam Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan. Mulai besok, iuran peserta mandiri kelas III sebesar Rp25.500 sedangkan kelas II menjadi Rp100.000 dan kelas I menjadi Rp150.000.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini