Riwayat BNI, Perjuangan Si “Anak Kandung Republik”

Bisnis.com,08 Jul 2020, 16:51 WIB
Penulis: Bambang Supriyanto
Citra udara Gedung BNI di Pejompongan, Jakarta.

Bisnis.com, JAKARTA-Dalam dua dekade terakhir, industri perbankan nasional tak sepi diterpa krisis. Pasca tsunami krisis moneter pada 1998, sistem perbankan mulai dibenahi.

Di samping itu, masing-masing bank memperkuat diri dengan berbagai langkah teknis yang inovatif. BNI adalah salah satu bank yang paling maju dalam mengambil inisiatif.

Bahkan, setelah tercatat sebagai bank milik pemerintah pertama yang melantai di bursa pada 1996, BNI menempuh langkah taktis dengan melakukan rekapitalisasi. Dengan mengesankann, BNI dalam jangka waktu tiga tahun setelah krisis dahsyat tersebut, bisa mengikis tingkat kredit macet (NPL) secara signifikan.

Gelombang krisis selanjutnya melanda Indonesia yang terpapar krisis kredit perumahan di AS (Subprime Mortgage) pada 2008. Berawal dari kenaikan suku bunga bank sentral The Fed yang menyebabkan kehancuran pasar properti di AS.

Buntutnya, terjadi krisis yang menerpa pasar keuangan di AS. Krisis itu dengan cepat melanda berbagai belahan dunia akibat instrumen derivatif yang diperdagangkan di mana-mana.

Saat itu, sinyal paling kuat dari dampak krisis keuangan global pada 2008 terhadap perekonomian Indonesia adalah depresiasi rupiah dan anjloknya harga saham. Lagi-lagi, BNI telah mengantisipasi serta mengatasi gelombang krisis tersebut, sehingga kinerja keuangan perusahaan pada periode tersebut tetap cemerlang.

Gatot M Suwondo yang kala itu menakhodai BNI menelorkan enam jurus ampuh keluar dari kemelut krisis. Beberapa jurus penyelamat antara lain memperkuat posisi likuiditas, meningkatkan rasio pencadangan, perbaikan kualitas aset, menjaga profitabilitas, hingga melakukan strategi efisiensi dan model bisnis berkesinambungan.

Padahal, tiga tahun sebelumnya yakni pada 2005, dunia perbankan juga dibekap krisis keuangan. Krisis mini itu terjadi akibat kombinasi harga minyak yang melonjak dan kenaikan suku bunga The Fed, sehingga terjadi aksi spekulasi terhadap nilai tukar rupiah.

TERUJI

Sebagai bank yang dibidani oleh perjuangan kemerdekaan, BNI seakan teruji dan tahan banting terhadap risiko. Sewaktu kecamuk perang kemerdekaan berlangsung, BNI yang merupakan modal pertama Indonesia di sektor keuangan, berupaya berkontribusi menyangga pemerintahan republik muda.

Bahkan, semakin matangnya republik, kerentanan dan bahaya krisis pun tak surut. Krisis moneter pada 1997/1998 menempa BNI agar semakin kuat dari hantaman yang datang dari arah manapun.

Kini, hantaman krisis itu datang berbarengan dengan pandemi Covid-19 yang terjadi dalam skala global. Perlahan krisis kesehatan itu memicu terjadinya potensi krisis multidimensi seiring dengan jatuhnya daya beli masyarakat, surutnya perdagangan global, hingga terhentinya produksi.

Namun demikian, BNI masih dapat memberikan kelegaan. Di tengah situasi krisis, sinyal kinerja bank masih cukup kinclong.

Sebagaimana laporan keuangan kuartal pertama 2020, BNI mencatatkan kinerja kuartal pertama yang solid. Capaian ini cukup jadi modal bank menerjang krisis hingga akhir tahun ini yang ditenggarai  tidak akan mudah, terutama pada penguatan likuiditas dan pengelolaan kualitas aset.

Berdasarkan laporan yang sama, BNI memetik pertumbuhan pinjaman sebesar 11,2% year over year (YoY),  dari Rp 521,35 triliun pada kuartal I/2019, menjadi Rp 579,60 triliun. Realisasi pinjaman itu dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2019, maka tumbuh 4,1% year to date (YtD).

Hal ini sejalan dengan strategi BNI yang sangat selektif dalam melakukan ekspansi di tengah pandemi Covid-19.  Adapun peningkatan pinjaman ini ditopang oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 10,4% YoY, yaitu dari Rp 575,75 triliun pada kuartal I/2019, menjadi Rp 635,75 triliun.

Berbekal tebalnya DPK, BNI memiliki likuiditas yang sehat, tercatat  loan to deposit ratio (LDR) BNI pada kuartal I/2020, sebesar 92,3%.  Sejalan dengan pandemi yang masih berlangsung, BNI mewaspadai terjadinya tekanan terhadap likuiditas.

Dalam kondisi yang sangat menantang seperti ini, likuiditas BNI akan tetap dikelola secara prudent, seperti tercermin pada indikator atau rasio-rasio likuiditas yang seluruhnya telah sesuai dengan ketentuan regulator dan risk appetite internal.

Dari sisi profitabilitas, kinerja kredit yang baik mampu mendorong pertumbuhan pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) sebesar Rp 9,54 triliun atau meningkat 7,7% YoY dibandingkan Rp8,86 triliun capaian periode yang sama tahun lalu.

Kenaikan NII tersebut dikontribusikan oleh peningkatan pendapatan bunga sebesar 3,8% dan penurunan beban bunga sebesar -2,5%. Penurunan beban bunga ini menarik karena disebabkan oleh biaya dana (cost of fund) yang turun sebesar 30 bps.

Prestasi tersebut berkat perolehan dana murah (CASA) yang juga meningkat.  Seiring dengan hal itu, strategi efisiensi tetap dilakukan, terutama pada pos biaya variabel, sehingga beban operasional BNI pada kuartal I 2020 dapat tumbuh terkendali sebesar 1,7% YoY.

Secara keseluruhan, kinerja itu membawa BNI mampu mencatatkan laba bersih pada kuartal I 2020 sebesar Rp 4,25 triliun atau meningkat 4,3% YoY dibanding kuartal I 2019 sebesar Rp 4,08 triliun.

TETAP BERKONTRIBUSI

Di tengah kecamuk wabah kali ini, BNI tetap berkomitmen memberikan kontribusi terbaik. Guna menjaga kesinambungan, BNI menerapkan beragam kebijakan antisipatif.

Terkait dengan potensi dampak Covid-19  terhadap portofolio kredit, BNI telah melakukan stress test secara berkala. Hal tersebut berguna untuk mengetahui potensi dampak wabah ini terhadap kemungkinan penurunan kualitas kredit.

Metode stress test yang dilakukan antara lain mengidentifikasi sektor-sektor yang diduga akan terdampak COVID-19, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta melakukan quantitative assessment guna menelaah ketahanan kondisi debitur dengan beberapa asumsi.

Seiring dengan menopang perekonomian nasional, BNI turut melaksanakan arahan Presiden Joko Widodo dalam memberikan kelonggaran dan bantuan kepada para nasabah, khususnya para pelaku usaha kelas UMKM. Salah satu upaya itu adalah pemberian fasilitas restrukturisasi kredit.

Pelaksanaan kebijakan itu merujuk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.

Dalam tiap keputusan restrukturisasi, BNI tetap mensyaratkan asesmen terhadap debitur yang dilakukan secara kasus per kasus agar sesuai dengan kemampuan keuangan atau arus kas debitur. Skema restrukturisasi itu dapat diberikan dalam bentuk penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu kredit, penundaan pembayaran angsuran pokok, atau kombinasinya. 

Tercatat, restrukturisasi kredit hingga akhir Mei 2020 yang dilakukan BNI telah mencapai Rp81,15 triliun.

Nilai restrukturisasi itu meningkat drastis jika dibandingkan dengan total relaksasi kredit pada akhir Maret 2020 yang sebesar Rp6,2 triliun.

“Restrukturisasi kredit yang diberikan kepada debitur terdampak COVID-19 tersebut dilakukan dengan merujuk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019,” kata Direktur Tresuri dan Internasional BNI, Putrama Wahju Setyawan saat paparan kinerja BNI secara virtual, pertengahan Mei lalu.

Sebagai bank sarat pengalaman dan perjuangan, BNI tampaknya akan kembali mencatatkan sejarah berarti buat republik saat kemelut krisis kali ini. Toh, inilah peran strategis yang diemban sejak 1946 silam. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Kahfi
Terkini