Ada Restrukturisasi Kredit, Likuditas Masih jadi Tantangan Bank

Bisnis.com,08 Jul 2020, 20:21 WIB
Penulis: Ni Putu Eka Wiratmini
Karyawan merapikan uang di cash center Bank BNI, Jakarta, Selasa (11/2/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA -- Restrukturisasi kredit tetap memberikan tantangan bagi likuditas perbankan meskipun dapat bermanfaat ke penghematan biaya pencadangan.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan dengan restrukturisasi, setidaknya bank terjaga dari tekanan rasio kredit bermasalah dan tidak ada kewajiban kewajiban membentuk cadangan.

Hal itu akan membuat likuiditas perbankan terjaga. Namun, bukan berarti dengan restrukturisasi semua permasalahan selesai.

Pasalnya, tekanan likuiditas bisa datang dari hal lainnya, seperti dari berkurangnya aliran uang masuk, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang menurun dan penarikan DPK yang meningkat.

"Secara agregat iya [restrukturisasi menjaga tekanan likuiditas], tetapi secara individual akan berbeda-beda kondisinya," katanya kepada Bisnis, Rabu (8/7/2020).

OJK menilai rasio likuiditas perbankan masih terjaga dengan profil risiko pada level yang terkendali.

Rasio aset likuid terhadap non-core deposit (AL/NCD) dan rasio aset likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) per 17 Juni 2020 masing-masing terbesar 123,2 persen dan 26,2 persen.

Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Hery Gunardi mengakui restrukturisasi memang membuat perseroan tidak perlu membuat pencadangan maksimal bagi debitur restruturisasi. Hanya saja, Bank Mandiri tetap melakukan pencadangan secara bertahap.

Setidaknya, hingga Maret 2020 rasio pencadagan terhadap kredit bermasalah Bank Mandiri berada di atas 250 persen.

Berdasarkan laporan keuangan bulanan, pada Maret 2020, besaran pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) kredit Bank Mandiri adalah senilai Rp51,54 triliun.

Hingga Mei 2020, pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) Bank Mandiri mencapai Rp51,28 triliun.

"Kami lebih memilih pendekatan yang lebih konservatif. Walaupun di POJK 11 disebutkan bahwa debitur yang direstrukturisasi kolektibilitas bisa menjadi kol 1 namun kami melakukan pencadangan secara bertahap," katanya.

Otoritas Jasa Keuangan menghitung industri perbankan tidak perlu membentuk biaya pencadangan hingga akhir tahun senilai Rp103 triliun akibat penerapan restrukturisasi.

Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan relaksasi dengan tidak membentuk biaya pencadangan merupakan upaya untuk menjaga stabilitas keuangan.

Program restrukturisasi kredit perbankan dikeluarkan OJK pada 26 Februari 2020 yang kemudian dituangkan dalam POJK 11/2020 pada tanggal 16 Maret 2020.

"OJK sejak awal melihat adanya Covid-19 akan menghambat aktivitas ekonomi, selama 3 bulan sejak 30 Juni OJK perhitungkan nilai pencadangan yang tidak perlu dibentuk mencapai Rp103 truliun," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini