Fitch Ratings Sorot Kegagalan Tata Kelola Finansial di Indonesia, Kerugian hingga US$3,5 Miliar

Bisnis.com,10 Jul 2020, 20:10 WIB
Penulis: Hafiyyan
Petugas menata barang bukti berupa uang sitaan di kantor Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Selasa (7/7/2020). Kejagung menunjukan uang sebesar Rp77 miliar dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tahun 2008-2018. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyoroti kegagalan tata kelola industri finansial di Indonesia menjadi risiko utama bagi kreditor dan investor.

Adapun, sektor lembaga keuangan yang memiliki risiko gagal bayar utang paling besar ialah Industri Keuangan Non Bank (IKNB).

"Pelemahan sektor keuangan juga semakin tertekan akibat pandemi virus corona, sehingga meningkatkan risiko kebangkrutan dan kerugian bagi investor dalam jangka pendek," paparnya Fitch dalam laporannya, dikutip Jumat (10/7/2020).

IKNB menjadi institusi yang paling berisiko gagal bayar karena memiliki regulasi yang tidak seketat perbankan di Indonesia, meskipun sudah ada penguatan regulasi dan pengawasan dalam beberapa tahun terakhir.

Potensi default itu kerap dikaitkan dengan produk deposito berjangka tinggi yang dipasarkan oleh asuransi, koperasi, dan manajer investasi kepada masyarakat umum.

Deposito biasanya menghasilkan pengembalian yang signifikan di atas suku bunga pasar, dan sering dijual kepada pelanggan ritel melalui saluran bancassurance atau agen pihak ketiga.

Sejak 2018, kasus gagal bayar industri finansial di Indonesia telah mengakibatkan kerugian hingga US$3,5 miliar. Kasus yang paling mencuat adalah korupsi di BUMN PT Asuransi Jiwasraya (Persero), yang menyebabkan gagal bayar US$1,2 miliar pada Oktober 2018.

Hal itu karena praktik manipulasi dan suap yang melibatkan investor senior. Kasus ini pun masih berlanjut proses hukumnya di Kejaksaan Agung.

Kasus Jiwasraya terjadi tak lama setelah PT Sunprima Nusantara Pembiayaan, melaporkan piutang fiktif, sehingga menyebabkan gagal bayar utang sebesar US$300 juta.

Selain itu, ada juga kasus besar lain, seperti kegagalan Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Cipta (Koperasi Indosurya) untuk membayar kembali simpanan sebesar US$1 miliar.

"Kasus besar itu mencuat pada akhir 2019 hingga kuartal I/2020," imbuh Fitch.

Sementara itu, industri perbankan relatif lebih aman karena belum mengalami gagal bayar akibat problem tata kelola perusahaan.

Namun, struktur tata kelola perbankan khususnya BUMN, mencerminkan risiko pemerintah yang menggunakan haknya sebagai pemegang saham pengendali untuk mengatur jajaran dewan perusahaan, misalnya untuk mendukung inisitif kebijakan negara.

"Hal yang dapat membatasi independensi dan efektivitas manajemen. Sentimen tersebut memberikan efek negatif terhadap profil kredit bank, dan memengaruhi peringkat mereka dalam hal faktor lain-lain," tulisnya.

Adapun, untuk bank pembangunan daerah (BPD), standar tata kelola mereka lebih rendah dan lebih lemah dalam hal akuntabilitas, efektivitas manajemen risiko, serta transparansi, dibandingkan bank besar lainnya di Indonesia.

Penilaian Fitch tentang tata kelola perusahaan lembaga keuangan mempertimbangkan efektivitas adanya dewan pengawas secara kolektif, termasuk penilaian soal keahlian, kemampuan sumber daya, kemandiri, dan kredibilitas untuk mengawasi manajemen dalam membuat pelaporan keuangan dan audit, serta transaksi pihak terafiliasi.

Ikatan pihak terkait dapat meningkatkan risiko seputar tata kelola. Sebagai contoh, Fitch menyakini kasus Koperasi Indosurya memengaruhi reputasi perusahaan berelasi seperti PT Indosurya Inti Finance (rating B+, outlook negatif), meskipun manajemennya berbeda.

Fitch Ratings juga menilai IKNB berukuran kecil yang dimiliki swasta lebih rentan terhadap penyimpangan tata kelola, dibandingkan entitas yang lebih besar ataupun emiten.

Banyak IKNB yang dipantau Fitch dimiliki oleh perusahaan yang lebih besar, biasanya perbankan, memiliki tata kelola perusahaan yang terintegrasi dan manajemen risiko yang lebih kuat.

Fitch percaya bahwa pertumbuhan sektor keuangan di Indonesia, yang semakin besar dengan kemunculan perusahaan teknologi finansial (tekfin), menimbulkan tantangan signifikan bagi otoritas untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan praktik tata kelola.

Adanya demarkasi juga menjadi pengawasan yang lebih efektif, karena koperasi saat ini diatur oleh Kementerian Koperasi dan UKM, sedangkan sektor finansial lainnya berada di bawah regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Fitch berharap regulator memperkuat peraturan dan pengawasan karena adanya kelalaian skandal baru-baru ini," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hafiyyan
Terkini