Isu Pembubaran OJK: Didukung Bamsoet, Ditolak Ekonom

Bisnis.com,11 Jul 2020, 13:33 WIB
Penulis: Ni Putu Eka Wiratmini
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Hubungan Antarlembaga Bambang Soesatyo mendukung dibubarkannya Otoritas Jasa Keuangan. Namun, wacana itu mendapatkan penolakan dari sejumlah ekonom.

Pria yang akrab disapa Bamsoet tersebut menilai wacana pembubaran OJK oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah adalah langkah yang tepat. Langkah tersebut menurutnya dapat dilakukan melalui Perppu maupun perangkat kebijakan lain.

"Skandal Jiwasraya hanyalah bagian kecil dari sengkarut yang menimpa OJK. Alih-alih menjadi pengawas yang kredibel dalam menjaga uang masyarakat yang berada di perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, penggadaian, dan lembaga jasa keuangan lainnya, OJK malah menjadi duri dalam sekam," ujar Bamsoet, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (11/7/2020).

Dia menambahkan fungsi pengawasan dan hal lainnya yang selama ini melekat di OJK, bisa dikembalikan kepada Bank Indonesia.

Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tersebut menilai DPR dan pemerintah tak perlu ragu membubarkan OJK yang notabene dibentuk melalui Undang-Undang No. 21/2011 tentang OJK.

Bamsoet menilai dalam kasus OJK, pemerintnah lebih baik mengoreksi daripada membiarkan kesalahan berlarut dan akhinya rakyat yang menjadi korban.

"Pembentukan OJK tak lepas dari rekomendasi IMF yang mengambil contoh Financial Service Authority (FSA) di Inggris. Kenyataannya, FSA justru gagal menjalankan tugasnya dan mengakibatkan Inggris terpuruk krisis finansial global pada 2008," katanya.

Menurutnya, pada 2013, Inggris membubarkan lembaga OJK mereka, yakni FSA sehingga bukan hal yang mustahil apabila dalam waktu dekat OJK dibubarkan.

"Apalagi, kini situasi OJK sedang di titik nadir lantaran mendapat sorotan dari DPR RI, BPK, maupun Ombudsman," lanjutnya.

Bamsoet mencontohkan pada permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat bahwa OJK tak melakukan uji kepatutan dan kelayakan kepada jajaran pengelola statuter yang ditunjuk untuk merestrukturisasi AJBB. Hal itu menyalahi UU No. 40/2014 tentang Perasuransian.

Selain itu, dalam IHPS I/2018, BPK menemukan penerimaan pungutan OJK 2015-2017 sebesar Rp493,91 miliar belum diserahkan ke negara, penggunaan penerimaan atas pungutan melebihi pagu sebesar Rp9,75 miliar, gedung yang disewa dan telah dibayar Rp412,31 miliar tetapi tidak dimanfaatkan, dan utang pajak badan OJK per 31 Desember 2017 sebesar Rp901,10 miliar belum dilunasi.

"Di skandal Jiwasraya dengan gamblang menunjukkan betapa lemahnya 'self control' mekanisme pengawasan di internal OJK. Sebagaimana OJK Inggris (FSA) yang tak mampu mendeteksi kondisi keuangan bank penyedia kredit perumahan The Northern Rock," kata Bamsoet.

Setelah membubarkan FSA pada tahun 2013, kata dia, Inggris mengembalikan sistem pengawasannya ke Bank Sentral.

Namun demikian, usulan pembubaran OJK tersebut mendapatkan respon negatif dan dinilai tidak tepat dilakukan saat ini oleh sejumlah ekonom.

Sebelumnya, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan pengalihan wewenang pengawasan perbankan dari OJK ke BI akan semakin memperburuk keadaan.

"Mereka tidak bisa diombang-ambingkan oleh politik seperti ini, sangat tidak baik untuk upaya kita memulihkan perekonomian di tengah wabah," katanya kepada Bisnis, Kamis (2/7/2020).

Piter berpendapat kinerja OJK di tengah pandemi sudah cukup baik. Bahkan, kecepatan OJK mengambil kebijakan melonggarkan restrukturisasi sudah mampu menahan lonjakan NPL.

"Rasanya terlalu kekanak-kanakan kalau pemerintah kemudian melakukan itu. Pembubaran lembaga sebesar OJK akan menghabiskan energi yang tidak perlu," katanya.

Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan  isu tersebut akan mengganggu stabilitas keuangan. Apalagi, pengalihan wewenang pengawasan dari OJK ke BI tidak begitu darurat. OJK pun masih bisa menangani sejumlah kasus dengan baik.

"Kita lagi sibuk Covid jadi situasi keuangan harus dijaga jadi tidak tepat kondisi sekarang buat statement yang ganggu masyarakat," katanya.

Aviliani menilai mengubah organisasi bukan merupakan hal yang mudah. Pengalihan wewenang dari OJK ke BI membutuhkan wakttu lama.

Menurutnya, meskipun di beberapa negara, ada yang menggabungkan fungsi bank sentral sebagai pengawas perbankan, tetap memerlukan kajian.

Pengalihan wewenang ini membuat pemerintah harus mengatur ulang organisasi yang sudah besar sebagai makro prudensial yakni Bank Indonesia untuk bertindak juga di mikro prudensial.

"Mengubah organisasi tidak mudah, butuh waktu lama," katanya.

Sebelumnya, Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan otoritas saat ini hanya fokus pada tugas dan fungsi OJK daripada isu lain. Apalagi, saat ini negara sedang membutuhkan upaya penanganan Covid-19.

Menurutnya, sebelum ada perppu 1/2020 yang telah diundangkan, OJK pada 16 Februari telah mengeluarkan kebijakan restrukturiasi sebagai insentif pada nasabah dan perbankan. Kebijakan tersebut memiliki nilai insentif hingga kurang lebih Rp97 triliun. OJK akan fokus pada insentif tersebut ketimbang memikirkan isu lain.

OJK berharap setelah restrukturisasi melandai, saatnya mengerakkan sektor riil. Namun, apabila sektor riil tidak bergerak, maka stimulus pemerintah berupa penempatan uang negara maupun lainnya akan menjadi percuma.

"OJK saat ini fokus pada itu dulu tidak fokus pada hal-hal lain, kita ikuti hal-hal lain bagaimana langkah OJK koordinasi dengan kementerian keuangan, LPS, dan dalam berbagai hal menangani masalah Covid-19," katanya, Kamis (2/7/2020).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Yustinus Andri DP
Terkini