Bisnis.com, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang (RUU) Penjaminan Polis menjadi salah satu regulasi yang didorong oleh Kementerian Keuangan untuk segera disahkan. Keberadaan lembaga penjamin polis dinilai krusial di tengah sejumlah permasalahan industri asuransi.
RUU tentang Penjaminan Polis merupakan satu dari 19 RUU Program Legislasi Nasional Jangka Menengah Tahun 2020–2024. Hal itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Tahun 2020–2024.
Melalui peraturan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan bahwa target penyelesaian RUU tersebut ada dalam kurun 2021–2024. Dia menunjuk Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai unit penanggung jawab penyusunan RUU Penjamin Polis.
Kementerian Keuangan menilai setidaknya terdapat dua poin urgensi pembentukan RUU tersebut. Penguatan ekonomi melalui industri asuransi dan adanya sejumlah kasus perasuransian mendasari perlunya pembentukan RUU tersebut.
Pertama, keberadaan RUU itu dinilai dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi sehingga menciptakan industri asuransi yang kuat. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengumpulan dan pemanfaatan sumber pembiayaan jangka panjang dan mendukung pertumbuhan perekonomian.
"Program penjaminan polis juga diharapkan dapat membantu menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga dapat memutus risiko sistemik di industri jasa keuangan dan dapat menjaga stabilitas perekonomian," tertulis dalam beleid tersebut.
Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Hotbonar Sinaga menilai bahwa pembentukan RUU tersebut belum menjadi prioritas pemerintah. Padahal, keberadaan Lembaga Penjamin Polis merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Dia menilai bahwa tidak adanya lembaga penjamin polis menjadi salah satu kendala yang mempersulit penyelesaian masalah-masalah pembayaran klaim asuransi, khususnya di perusahaan yang bermasalah.
Namun, jika lembaga itu pun terbentuk, tidak semata-mata langsung membantu penyelesaian berbagai masalah.
"Kemampuan Lembaga Penjamin Polis untuk membantu permasalahan gagal bayar yang terjadi saat ini akan terbatas. Pasti ada jumlah kasus maksimum yang dapat dibayar, seperti saat ini untuk Lembaga Penjamin Simpanan [LPS] cuma sampai dengan Rp2 miliar," ujar Hotbonar kepada Bisnis, Minggu (12/7/2020).
Mantan Direktur Utama Jamsostek itu pun menilai bahwa LPP belum tentu menjamin seluruh jenis polis, karena bisa jadi fokus pada proteksi. Dia menilai mungkin saja aspek investasi dalam unit-linked dan saving plan tidak termasuk cakupan jaminan.
Hal tersebut menurutnya perlu menjadi perhatian pemerintah karena porsi pemilikan produk saving plan cukup dominan, sehingga keamanan para pemegang polis harus diperkuat. Selain itu, keberadaan lembaga penjamin polis pun dapat mencegah munculnya berbagai kasus asuransi.
"Segera bentuk lembaga penjamin polis agar kejadian-kejadian [kasus] seperti sekarang ini tidak terulang kembali," ujar Hotbonar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel