Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk. tengah berada di ujung tanduk. Bank dinyatakan masuk dalam pengawasan khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selama sepuluh tahun terakhir, bank yang pernah bersalin nama tiga kali itu memang terseok-seok.
Berdasarkan laporan publikasi bank, per Mei 2020 Bank Banten masih menanggung rugi Rp52,35 miliar (tidak diaudit). Sejak 2010, Bank Banten hanya mencetak cuan selama dua tahun, yaitu pada 2012 dan 2013, masing-masing sebesar Rp46,6 miliar dan Rp96,27 miliar.
Gubernur Banten Wahidin Halim mengatakan Bank Banten butuh modal Rp3 triliun agar keluar dari jurang bahaya. Sejauh ini, berbagai upaya untuk menyelamatkan bank sudah dilakukan, mulai dari mengundang investor baru hingga rencana merger dengan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Tbk. (BJBR).
Pemprov Banten saat ini sedang memproses proses penyuntikkan dana senilai Rp1,5 triliun dari Rp1,9 triliun dari dana pemerintah yang dibutuhkan. Adapun sisanya berasal berasal dari pemegang saham publik dan kerja sama pihak lain.
Pemprov Banten akan mengkonversi dana kas daerah yang ada di Bank Banten senilai Rp1,5 triliun sebagai penyertaan modal kepada Banten Global Development. Entitas ini adalah badan usaha milik daerah yang menjadi pemegang saham terbesar Bank Banten.
"Ini langkah awal, semoga menjadi harapan baru agar bank ini bisa ditangani bersama-sama oleh Pemprov Banten dan DPRD saat ini," ujarnya saat rapat dengan DPRD Banten, Sabtu (11/7/2020).
Sekadar informasi, Bank Banten adalah bank daerah yang lahir dari rahim swasta. Semula, bank ini bernama PT Executive International Bank, didirikan pada 11 September 1992 dan beroperasi sebagai bank umum setahun kemudian.
Pada 16 Januar 1996, bank berganti nama menjadi PT Bank Eksekutif International. Perubahan nama sebatas alih bahasa menjadi Bahasa Indonesia.
Pada 2010, Bank Eksekutif bersalin nama menjadi Bank Pundi Indonesia seiring dengan kehadiran investor baru, yaitu Recapital Securities. Dilansir dari laporan tahunan tahun 2010, nama Bank Pundi diambil dari Jawa yang berarti “dompet; kantong; kandung; junjungan”, sebuah wadah yang biasa digunakan sebagai tempat untuk menyimpan uang atau barang berharga.
Nama tersebut dinilai melambangkan kehadiran Bank Pundi sebagai bank yang terpercaya dan dekat dengan rakyat Indonesia untuk menjadi ‘pundi-pundi” yang mendukung keberdayaan dan kemakmuran rakyat dengan bisnis UKM dan Usaha mikro.
Saat itu, Bank Pundi memang berniat untuk menggarap segmen UKM dan mikro. Bank Pundi langsung tancap gas dengan membuka banyak cabang dan menambah pegawai.
Di akhir 2010, Bank Pundi memiliki 19 kantor cabang di 12 kota dengan pegawai 1.500 orang. Setahun kemudian, jumlah cabang bertambah menjadi 187 di 44 kota dengan karyawan sebanyak 6.691 orang.
Nama Bank Pundi ternyata tidak langgeng. Hanya dalam waktu enam tahun, bank kembali berganti seiring dengan pergantian pemegang saham mayoritas. Saat Banten Global Development menjadi pemegang saham pengendali, Bank Pundi bersalin rupa menjadi Bank Banten.
Perubahan nama tersebut mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lewat Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan No. 12/KDK.03/2016 tanggal 29 Juli 2016.
Perubahan nama ternyata tidak membawa Bank Banten lepas dari jerat permasalahan. Empat tahun sejak akuisisi, Wahidin mengakui Bank Banten tidak berkembang. Apa yang dibilang Wahidin relevan dengan kinerja Bank Banten dalam empat tahun terakhir.
Hingga 2019, Bank Banten masih mencetak kerugian dengan rasio kredit bermasalah kotor atau gross non performing loan di atas 5 persen. Bank Banten juga belum efisien kendati aset bertumbuh. Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional atau BOPO konsisten di atas 100 persen.
Saat masih dipegang oleh Recapital, kinerja bank juga tidak cemerlang. Bahkan, Recapital harus rela kehilangan bank berkode saham BEKS itu karena tidak bersedia lagi menyerap saham baru dalam proses rights issue.
Secara umum, selama dipegang Recapital, bank hanya mencetak cuan selama dua tahun. Selebihnya bank menderita kerugian dan juga meninggalkan warisan NPL saat kepemilikan bank berganti.
Sekadar mengingatkan, Recapital masuk menjadi pemegang saham di saat pemilik lama, Keluarga Widjaja kesulitan likuiditas pada 2010 lalu. Dilansir dari Tempo, Bank Indonesia saat itu meminta pemegang saham untuk memperbaiki kredit bermasalah, mencari investor baru, dan melakukan restrukturisasi kepengurusan.
BI memberikan tenggat waktu kepada pemegang saham Bank Eksekutif untuk melakukan sejumlah perbaikan karena bank berada dalam pengawasan insentif. Nah lho, sekarang saat perbankan diawasi oleh OJK, Bank Banten yang dahulu bernama Bank Eksekutif juga masuk dalam pengawasan khusus.
Le Histoire se Répète. Ternyata sejarah memang mengulang dirinya sendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel