Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dan DPR resmi mendepak rencana amandemen UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dari program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2020.
Alih-alih 'mengegolkan' rencana amandemen tersebut ke dalam prolegnas, pemerintah dan DPR lebih memilih mengganti RUU Penyadapan yang diinisiasi oleh Badan Legislasi (Baleg) dengan RUU tentang perubahan kedua atas UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI).
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa keputusan ini diambil karena Baleg berpandangan 50 RUU yang sudah ditetapkan bersama dengan pemerintah dan panitia perancang undang-undang DPD RI tidak realistis.
"Kondisi proses legislasi yang tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena terdapatnya berbagai macam keterbatasan," kata Supratman di DPR, Kamis (16/7/2020).
Supratman menambahkan penarikan amandemen UU OJK dan masuknya revisi UU BI dalam konsep perubahan prolegnas tahun 2020 sudah didiskusikan secara matang dengan pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkeumham).
RUU OJK sendiri merupakan satu dari 16 RUU yang diputuskan untuk ditendang dari prolegnas.
Di sisi lain, Momen penarikan RUU OJK ini juga berbarengan dengan isu untuk menjadikan fungsi pengawasan perbankan dari OJK ke bank sentral.
Dalam catatan Bisnis, masuknya RUU BI dalam prolegnas juga sempat disinggung oleh anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan.
Heri saat uji kelayakan calon Deputi Gubernur Bank Indonesia pekan lalu mengungkap asal usul munculnya rencana revisi Undang-Undang (RUU) tentang Bank Indonesia (BI).
Menurut Heri cerita bermula dari prioritas legislasi Komisi XI DPR yakni UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU Bea Materai dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Setelah di Badan Legislasi (Baleg), dua UU yakni UU KUP dan UU Bea Materai kemudian diputuskan untuk ditangguhkan. Proses legislasi kemudian mengarah pada UU OJK. Namun, di tengah perjalanan, muncul keinginan dari pemerintah untuk merevisi UU BI.
Yang menjadi persoalan, lanjut Heri, sampai pekan lalu undang-undang tersebut dinyatakan sebagai usulan DPR. Menurutnya, parlemen juga belum melihat ataupun belum tahu konsepnya seperti apa, termasuk mau kemana arah BI pun belum paham.
"Mungkinkah ini terkait dengan kekecewaan Pak Presiden terkait kinerja KSSK terkait penyerapan anggaran PEN dan lain sebagainya? atau ke mungkinkah ini juga berbicara tentang bermainnya BI di pasar sekunder?," tanya Heri waktu itu.
Heri melanjutkan, jika keputusan ini tidak terkait dengan isu tersebut. Namun, dia mengira bisa jadi revisi UU BI ini juga terkait dengan wacana jabatan gubernur yang kapanpun bisa ditarik oleh presiden.
"Seperti itu, tentunya ini akan berpengaruh terhadap undang-undang yang independen namun menurut ibu yang notabene saat ini masih ada di Bank Indonesia bagaimana?," tanyanya lagi.
Isu terkait dengan pengembalian tanggung jawab pengawasan perbankan dari OJK ke BI telah berhembus sejak awal bulan Juli.
Kabarnya yang santer terdengar Presiden Jokowi tidak puas terhadapi kinerja financial watchdog tersebut. Presiden berkeinginan agar pengawasan perbankan dapat berada langsung di bawah bank sentral dan berbentuk administrasi independen.
Isu ini makin hangat ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani angkat bicara.
Meski mengaku belum menerima informasi terkait dengan isu ini, tetapi Sri Mulyani mengatakan pemerintah dan DPR akan memutuskan bagaimana peran pengawasan keuangan dan moneter.
"Kewenangan ini akan tergantung dari legislasi," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel