Gara-Gara Pandemi, Pelaku Usaha Rumah Potong Tahan Ekspansi

Bisnis.com,17 Jul 2020, 07:20 WIB
Penulis: Iim Fathimah Timorria
Ilustrasi peternakan ayam./Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA- Pelaku usaha cenderung menahan ekspansi rumah potong hewan unggas (RPHU) di tengah ketidakpastian pasar di tengah pandemi.

Meski konsumsi daging ayam beku diperkirakan bakal meningkat, pembangunan RPHU lebih banyak terlaksana sebagai kelanjutan dari investasi pada 2019.

“Bagaimanapun investasi harus tetap berjalan. Tapi untuk memulai pembangunan unit baru tahun ini sepertinya tertahan karena Covid-19 yang tak menentu,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (Arphuin) P. Nono saat dihubungi, Kamis (16/7/2020).

Menurut keterangangan Nono, serapan daging ayam sendiri cenderung menurun sejak kasus Covid-19 ditemukan pertama kali pada awal Maret lalu yang disusul dengan pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sampai Mei.

Hal ini berimbas pada meningkatknya stok daging ayam di cold storage dan minimnya serapan dari bisnis hotel, restoran, dan katering yang lantas memicu anjloknya harga.

Meski demikian, Nono menjelaskan bahwa harga ayam beku cenderung membaik sejak PSBB di Ibu Kota mulai direlaksasi. Kondisi ini pun turut dipengaruhi oleh kebijakan pemangkasan populasi yang belum lama ini diinstruksikan oleh pemerintah kepada usaha pembibitan ayam.

Pembangunan RPHU sendiri menjadi salah satu kewajiban bagi pelaku usaha perunggasan sebagaimana tercantum dalam Permentan No 32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.

Dalam Pasal 12 aturan tersebut, kewajiban memiliki RPHU dan rantai dingin dibebankan pada pelaku usaha integrasi, peternak mandiri, atau koperasi yang memproduksi ayam ras potong (livebird) dengan kapasitas produksi paling rendah 300.000 ekor per minggu.

Sementara itu, Dewan Pembina Gabungan Asosiasi Pengusaha Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Tri Hardiyanto mengemukakan bahwa aturan tersebut sejatinya memiliki tujuan yang baik dalam mengatur rantai pasok daging ayam.

Kendati demikian, dia mengemukakan implementasi belum maksimal karena sebagian produksi daging ayam masih mengalir ke pasar basah alih-alih ke rantai pasok dingin.

“Selama tiga tahun terakhir serapan pemotongan RPHU masih 20 persen, padahal dengan pasal ini seharusnya bisa mencapai minimal 50 persen dan membantu menjadi buffer saat harga ayam hidup hancur,” papar Tri dalam diskusi daring yang digelar oleh Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka).

Di sisi lain, Tri mengemukakan kewajiban pembangunan RPHU seharusnya lebih diarahkan pada peternakan berskala besar dalam bentuk integrasi alih-alih peternak mandiri. Dia pun mengharapkan pemerintah dapat memperjelas siapa pelaku usaha yang wajib melaksanakan ketentuan tersebut.

“Selain itu, perlu diperjelas pembagian mana yang ke pasar becek dan mana yang ke rantai pasok dingin. Ini yang perlu ditegaskan,” ujar Tri.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Pembibitan Unggas (GPPU) Achmad Dawami mengemukakan bahwa pembangunan RPHU sejatinya penting guna memutus rantai pasok pada unggas yang terlalu panjang. Kehadiran RPHU beserta fasilitas rantai pasok sendiri disebutnya penting guna pengaturan harga dan pencegahan harga yang anjlok kala pasokan melimpah 

“Pelaku usaha akan rugi sendiri jika tidak menyiapkan RPHU karena harga daging ayam menjadi tidak terkontrol,” ujar Ahmad.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Amanda Kusumawardhani
Terkini