Bisnis.com, JAKARTA — Industri asuransi jiwa dinilai harus mengantisipasi gangguan arus kas seiring perlambatan perolehan premi. Meskipun klaim yang dibayarkan pun menurun pada masa pandemi Covid-19, sejumlah aset finansial menjadi sulit untuk dicairkan.
Dosen Program MM-Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Kapler A. Marpaung menjelaskan bahwa penurunan premi industri merupakan imbas dari terganggunya kondisi perekonomian. Menurutnya, hal tersebut merupakan efek dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Dia menjelaskan bahwa produk unit-linked dan asuransi jiwa kredit berpotensi mengalami tekanan yang bukan hanya dari aspek perolehan premi. Produk unit-linked akan terganggu aspek investasinya, sedangkan asuransi jiwa kredit memiliki potensi kenaikan klaim.
"Arus kas industri asuransi jiwa pasti terganggu, apalagi perusahaan yang cash management-nya lemah. Perusahaan perasuransian kan semua diminta memberikan gambaran kinerja semester I dan II 2020, yang dikaitkan dengan Covid-19, saya yakin mayoritas membuat revisi atas rencana kerjanya," ujar Kapler kepada Bisnis, Senin (27/7/2020).
Berdasarkan Statistik Asuransi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri asuransi jiwa memperoleh premi Rp64 triliun pada Mei 2020. Perolehan tersebut tercatat menurun 12,54 persen (year-on-year/yoy) dibandingkan dengan Rp73,18 triliun pada Mei 2019.
Industri asuransi jiwa membayarkan klaim senilai Rp28,6 triliun hingga Mei 2020. Sejalan dengan perolehan preminya, jumlah klaim tersebut menurun 18,93 persen (yoy) jika dibandingkan dengan Rp35,3 triliun per Mei 2019.
Dia menjelaskan bahwa meskipun terdapat perlambatan tingkat klaim, industri harus tetap memperhatikan kualitas arus kas untuk membayar klaim-klaim jatuh tempo dan antisipasi peningkatan klaim. Untuk itu, manajemen aset menjadi kunci karena aset pasar modal akan sulit dicairkan sementara waktu, seiring nilainya yang masih turun.
Menurut Kapler, risk based capital (RBC) industri asuransi jiwa bisa menurun saat ini. Dalam kondisi tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh industri, antara lain adalah menambah modal disetor jika tingkat penurunan RBC dirasa mengancam kesehatan keuangan.
Selain itu, industri asuransi pun dapat mempertimbangkan restrukturisasi aset, khususnya admitted asset untuk menjaga kualitas keuangan. Perusahaan-perusahaan pun dapat meninjau kembali produk-produknya sembari menyusun strategi optimalisasi kinerja.
"Oleh karenanya perusahaan akan melakukan pengetatan pengeluaran atau efisiensi. Dampaknya tentu saja ada perlambatan dalam pembayaran klaim atau polis-polis jatuh tempo atau penebusan, sehingga perlu dimitigasi," ujar Kapler.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel