Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank Harda Internasional Tbk. (BBHI) optimistis mampu memperbaiki kinerja pada kuartal III/2020 dengan menekan rasio kredit bermasalah di level 3,6% (gross).
Mengacu pada laporan keuangan semester I/2020, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) Bank Harda adalah sebesar 6,9% (gross) dan 3,5% (net). Rasio penyaluran kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) pada semester I/2020 mencapai 86,76%.
Rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) Bank Harda pada semester I/2020 adalah sebesar 16,4%. Return on assets (ROA) dan return on equity (ROE) Bank Harda pada periode tersebut masing-masing sebesar 2,96% dan 26,17%.
Direktur Bisnis Bank Harda Yohanes Sutanto mengatakan saat ini perseroan berfokus menyelesaikan kredit macet. Perseroan juga akan meningkatkan likuiditas sehingga langkah-langkah tersebut akan mampu meningkatkan laba.
Pada semester I/2020, perseroan mampu memperoleh laba tahun berjalan senilai Rp32,86 miliar atau naik 254,86% dibandingkan periode sama tahun lalu (year on year/yoy). Peningkatan laba yang sangat signfikan tersebut bersumber dari pemulihan atas cadangan kerugian penurunan nilai Rp50,92 miliar.
"Ada beberapa nasabah yang kita selesaiakan [kredit macet] dengan cash settlement dan AYDA (agunan yang diambil alih), artinya CKPN kembali jadi perhitungan. Saya pikir Bank Harda akan semakin membaik," katanya kepada Bisnis, Senin (3/8/2020).
Menurutnya, seiring dengan optimisme untuk memperbaiki kinerja, perseroan juga akan lebih meningkatkan pengawasan internal, terutama, untuk menghindari adanya praktik-praktik yang tidak menguntungkan nasabah.
Salah satu yang disinggung yakni penjualan produk foward trade confirmation (FTC) yang dilakukan oleh oknum pegawai bank. Bank Harda menegaskan produk tersebut bukan merupakan milik perseroan. Perlu diketahui, produk FTC merupakan perjanjian jual beli saham Bank Harda melalui PT Hakim Putra Perkasa (HPP) yang merupakan pemegang saham pengendali bank tersebut. Penjualan FTC yang dilakukan oknum bank tersebut menjadi salah karena bukan merupakan produk bank.
BHI juga menegaskan penjualan produk FTC tidak akan memepengaruhi kinerja perseroan. Manajemen BBHI juga mengimbau nasabah untuk tidak terpengaruh dan tetap menjamin bahwa simpanan nasabah aman serta operasional bank tetap berjalan baik.
"Sehubungan dengan adanya karyawan BHI yang ikut menawarkan produk FTC tersebut sebagaimana ternyata dalam temuan OJK, BHI telah mengambil tindakan tegas terhadap karyawan tersebut sesuaai dengan ketentuan yang berlaku," sebutnya.
Terkait tindakan bank gelap ini, Bisnis telah mengantongi laporan temuan OJK pada 31 Januari 2020 mengenai adanya aktivitas transaksi di luar produk perbankan yang dilakukan melalui rekening Bank Harda Internasional.
Pemeriksaan yang dilakukan OJK terhadap data transaksi pada core banking selama 2017-2019 menemukan adanya transaksi pemindahbukuan dari rekening beberapa nasabah Kantor Cabang Bandung kepada rekening PT Hakim Putra Perkasa (HPP) yang merupakan pemegang saham pengendali Bank Harda.
Keterangan pemindahbukuan tersebut adalah pembelian saham Bank Harda Internasional melalui rekening HPP.
Ketika dilakukan sampling mutasi rekening pegawai, ditemukan transfer dana dari rekening HPP ke pemimpin Kantor Cabang Bandung dengan nilai Rp112,495 juta atau 1,73% dari total transaksi pembelian saham senilai Rp6,5 miliar. Transfer dana tersebut terbagi dalam dua tahap yakni pada 18 Mei 2018 senilai Rp72,495 juta dan pada 7 September 2018 senilai Rp40 juta.
Dari hasil pemeriksaan, dana masuk tersebut merupakan komisi hasil penjualan produk forward trade confirmation (FTC) saham Bank Harda dengan besaran yang beragam. FTC merupakan kontrak antara penjual yakni nasabah Bank Harda KC Bandung dengan pembeli HPP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel